Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Heru Prastiyo, terdakwa dalam kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap Ayu Indriaswari, dituntut dengan hukuman mati.
Jaksa menilai perbuatan pembunuhan yang dilakukan terdakwa sudah terencana.
Pertimbangan lain, pembunuhan mutilasi dilakukan diluar batas kemanusiaan.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset dan Publikasi Pusat Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. Despan Heryansyah, SH., MH mengatakan, hukuman mati adalah dogma lama yang sudah lama ditinggalkan.
Aparat penegak hukum masih melihat hukum pidana atau pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan
“Tujuan penghukuman sekarang ini adalah pemasyarakatan, yaitu membina dan mendidik seorang pelaku kejahatan agar dapat kembali dan berkontribusi kepada masyarakat,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Kamis (17/8/2023).
Dia mengatakan, hukuman mati di Indonesia, sekalipun masih diakui, tapi kemungkinan penerapannya sangatlah kecil.
Terutama saat setelah berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru.
Dalam KUHP terbaru, di situ mengatur hukuman mati dapat diganti pidana penjara seumur hidup.
“Satu frasa kunci yang selalu disampaikan oleh penegak hukum dalam menghukum mati adalah memberikan efek jera. Padahal, di negara manapun di dunia ini yang masih menerapkan hukuman mati, tidak ada relevansi antara hukuman mati dengan efek jera terhadap suatu tindak pidana,” terangnya.
Maka, menurut dia, tidak benar bahwa dengan menghukum mati maka tindakan mutilasi tidak akan terjadi lagi.
“Kejahatan mutilasi ini hanya akan hilang apabila negara justru memberikan rasa aman terhadap seluruh warga negaranya,” tutur Despan lagi.
Dia menilai, bagaimanapun hak untuk hidup tidak diberikan oleh negara, maka sejatinya negara juga tidak dapat mencabut.
“Tugas negara adalah memastikan agar korban terlindungi, namun pada sisi yang sama, pelaku juga dihukum menurut hukum yang menghormati kemanusiaannya,” tutupnya. (*)