DIĀ tengah gempuran dunia digital dan tantangan ekonomi global, siapa sangka sebuah ajang penghargaan tingkat desa bisa menjadi motor penggerak kemajuan UMKM? Itulah yang terjadi di Sleman lewat Penghargaan Nata Sembada.
Ajang ini tidak lagi dipandang sekadar lomba antar Forum Komunikasi UMKM Kalurahan, tetapi telah menjelma menjadi ruang belajar kolektif, tempat lahirnya pertukaran ide, inspirasi, dan inovasi nyata dari akar rumput.
Saya menyaksikan langsung bagaimana Forkom UMKM Kalurahan Girikerto, mewakili Kapanewon Turi dalam ajang ini, berubah cara pandangnya. Dari semula hanya ingin "ikut lomba", menjadi forum yang rajin mencatat, mendiskusikan, bahkan membenahi struktur kelembagaannya. Mengapa bisa begitu? Karena Nata Sembada bukan hanya memberi penghargaan, tetapi juga memberikan "pelajaran".
Para juri yang datang bukan hanya memegang nilai di tangan, tapi membawa ilmu, pertanyaan kritis, dan semangat berbagi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang: akademisi, jurnalis, hingga praktisi pelatihan. Mereka menyapa pelaku UMKM, bertanya, menggali, dan memberi saran secara langsung. Proses ini membuat pelaku UMKM tidak hanya mendengar, tapi juga merefleksikan, tentang apa yang sudah mereka lakukan, dan apa yang bisa diperbaiki.
Kita tahu, banyak pelaku UMKM memiliki ilmu berdasarkan pengalaman (tacit knowledge). Sayangnya, ilmu ini kerap mengendap dan tidak terdokumentasi. Melalui mekanisme lomba ini, pengetahuan itu perlahan ditransformasikan: menjadi laporan, menjadi presentasi, menjadi kebijakan kelembagaan. Inilah esensi dari transfer pengetahuan: dari yang tidak terlihat menjadi nyata, dari yang tersembunyi menjadi bisa dipelajari banyak orang.
Model ini, dalam istilah akademik, dikenal dengan pendekatan SECI, sebuah siklus penciptaan pengetahuan yang menekankan pertukaran antar pelaku. Tapi yang lebih penting: Nata Sembada mengubah budaya. Dari yang dulu "berlomba untuk menang", menjadi "berlomba untuk tumbuh bersama".
Saya percaya, ini bukan hal sepele. Di tengah banyak program pembangunan yang kerap berhenti di seremonial atau dokumentasi, Nata Sembada hadir sebagai oase. Ia menyodorkan praktik baik yang bisa ditiru. Sleman telah memberi contoh bahwa membangun UMKM bukan sekadar memberikan modal, tapi juga membangun ekosistem belajar.
Maka, sudah waktunya kita berhenti memandang lomba-lomba desa sebagai ajang tempelan. Nata Sembada menunjukkan bahwa dari desa, dari forum kecil, pengetahuan bisa lahir, tumbuh, dan mengakar. Dan siapa tahu, dari Sleman, model ini bisa menjalar ke seluruh penjuru negeri. (*)
*Oleh: Riesta Wijayanti, Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (MM UST) Yogyakarta.