Berkunjung ke Omah Jayeng, Rumah Lawas Garin Nugroho yang Disulap Jadi Ruang Ekspresi Marjinal

Titik yang kini dikenal dengan sebutan Omah Jayeng itu merupakan tempat kelahiran dan rumah masa kecil sutradara kenamaan Garin Nugroho.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
Garin Nugroho saat menyampaikan paparaannya di sela agenda Mencari Ruang Bersama, di Omah Jayeng, Pakualaman, Kota Yogya, Selasa (12/8/25) malam. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Lokasinya cukup tersembunyi, di dalam gang perkampungan Purwokinanti, Kemantren Pakualaman, Kota Yogyakarta.

Akan tetapi, siapa sangka, bangunan kuno dengan arsitektur Jawa kental tersebut memiliki andil sejarah bagi dunia perfilman tanah air.

Titik yang kini dikenal dengan sebutan Omah Jayeng itu merupakan tempat kelahiran dan rumah masa kecil sutradara kenamaan Garin Nugroho.

Di Omah Jayeng pula, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang dewasa ini semakin mendunia, digodog, serta diperjuangkan.

"Ini rumah buyut saya, saya kecil lahir di sini. Rumah keluarga, sejak tahun 1900an, lebih dari 100 tahun," ungkap Garin, di sela agenda bertajuk 'Mencari Ruang Bersama', Selasa (12/8/2025) malam.

Ia pun mengungkapkan, Omah Jayeng sebenarnya sudah dibuka menjadi ruang publik sejak 2009, namun baru menggeliat enam bulan terakhir.

Secara spesifik disebutkan, Omah Jayeng berupaya menggeliatkan ragam ekspresi seni dan budaya yang selama ini cenderung kurang dilirik.

"Jadi, Omah Jayeng mau mengambil dari sisi marjinal, cenderung kecil, dan mungkin tidak mendapatkan ruang di tempat lain," tandasnya.

Garin meyakini, ekspresi-ekspresi yang termarjinalkan yang kadang tidak menghadirkan banyak penonton, perlu diberikan sebuah wadah.

Bukan tanpa alasan, keberdaannya diperlukan untuk mengasah pola pikir kritis, atau critical thinking, yang dewasa ini terancam pudar.

"Karena sekarang kita di tengah situasi yang para pejabatnya tidak punya lagi pola pikir kritis dalam berbagai masalah yang ada," cetusnya.

"Sekarang ini, bagaimanapun masyarakat harus menjaga sebagai bangsa, agar senantiasa memiliki critical thinking," tambah Garin.

Sehingga, sutradara Daun di Atas Bantal (1998) itu menyebut, Omah Jayeng terbuka lebar sebagai ruang alternatif bagi para pegiat seni budaya.

Ia berharap, mulai sekarang, hingga di masa-masa yang akan datang, Omah Jayeng bisa menjadi sebuah ruang berpikir dan bertumbuh bersama.

"Karena dari dulu banyak sekali aktivitas di sini, sejak jadi kantor JAFF dan lain-lain, tapi memang belum ada namanya. Kemudian, ini kita berikan nama Omah Jayeng, biar gampang nyebutnya," pungkasnya. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved