Mengenal Duck Syndrome, Kondisi Tubuh Baik di Luar tapi Remuk di Dalam
Duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang tampak tenang
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Penampilan seseorang acapkali bisa menipu. Di luar, kadang tampak tenang dan baik-baik saja, tapi hati manusia siapa yang tahu, bukan?
Bisa saja, di dalam, ia sedang berjuang keras menghadapi tekanan mental dan emosional.
Di lingkungan kampus, seorang mahasiswa bisa terlihat begitu penuh semangat dengan capaian-capaian, namun siapa sangka yang tak terlihat ia sesungguhnya tengah mengalami duck syndrome.
Fenomena duck syndrome diambil dari metafora seekor bebek yang mengapung anggun di permukaan air, namun di bawah permukaan air ia tengah mengayuh dengan panik agar tidak tenggelam.
Fenomena ini semakin sering ditemukan di kalangan mahasiswa saat ini. Mahasiswa cenderung ingin tampil serba bisa, serba kuat, dan serba produktif.
Tapi sayangnya, di balik semua itu, banyak yang merasa lelah dan kewalahan, namun tidak selalu mengetahui cara tepat untuk mengatasinya.
Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM mengatakan duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang tampak tenang namun sebenarnya berada di bawah tekanan.
Gambaran tersebut kini sering ditemukan di berbagai kampus, termasuk di Indonesia. Mahasiswa berusaha memenuhi ekspektasi tinggi dari diri sendiri maupun tuntutan lingkungan. Iapun berusaha mempertahankan IPK, aktif berorganisasi, magang, ikut lomba, hingga menjaga eksistensi di media sosial.
“Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan,” katanya, Senin (11/8/2025).
Berdasar konsep Self-Determination Theory, kata Anisa, manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar, yaitu rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness).
Fenomena duck syndrome berkaitan erat dengan konsep ini, karena ketika pilihan hidup tidak lagi didasarkan pada keinginan pribadi melainkan pada tekanan eksternal, keseimbangan psikologis individu pun kemudian terganggu.
Di sisi lain, budaya untuk selalu terlihat baik-baik saja menjadikan mahasiswa menekan atau menyembunyikan emosi yang sesungguhnya mereka rasakan.
Tidak sedikit mahasiswa berusaha untuk tidak boleh terlihat lelah atau menyerah karena takut dianggap lemah.
Sikap perfeksionisme yang tinggi ini membuat seseorang cenderung menutupi kelemahan dan kesulitan.
“Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri,” jelasnya.
Erick Thohir Dilantik Jadi Menpora, Kursi Menteri BUMN Masih Kosong |
![]() |
---|
Mahasiswa UNY Kembangkan Briket Jerami di Wonosari Gunungkidul |
![]() |
---|
Gagah dan Canggih Jadi Satu di New Honda ADV160, Siap Temani Petualangan Modern |
![]() |
---|
5 Zodiak Genggam Kunci Hoki Hari Ini Kamis 18 September 2025, Aries Virgo Coba Menguasai |
![]() |
---|
6 Shio Dimanja Hoki Hari Ini Kamis 18 September 2025, Ada Shio Kelinci Urutan Kedua |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.