Fenomena Bendera One Piece dan Tafsir Semiotik, Simbol Perlawanan di Ranah Digital

One Piece sebagai manga shōnen telah lama menjadi bagian dari budaya populer global, termasuk di Indonesia.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
Dok Tribun Jogja
HEADLINE: Halaman depan Harian Tribun Jogja memuat ulasan tentang maraknya bendera bergambar tengkorak mengenakan topi jerami, ikon yang dikenal luas dari manga dan anime One Piece karya Eiichiro Oda, di media sosial sebagai bentuk kritik masyarakat terhadap kondisi sosial politik belakangan di negara ini. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Merebaknya penggunaan bendera bajak laut anime One Piece menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI tak sekadar bentuk hiburan atau tren populer.

Fenomena ini mencerminkan ekspresi sosial yang berakar pada simbolisme budaya populer, yang jika dibaca melalui kacamata semiotika, mengandung tafsir perlawanan terhadap dominasi wacana arus utama.

Hal ini diungkapkan oleh pakar komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi.  

Menurut Fajar, One Piece sebagai manga shōnen telah lama menjadi bagian dari budaya populer global, termasuk di Indonesia.

Karya ini tidak hanya menawarkan petualangan visual yang memikat, tetapi juga mengandung nilai-nilai ideologis yang terselip dalam narasinya.

“One Piece adalah manga shōnen yang berarti manga yang ditujukan untuk remaja pria, sebenarnya telah lama beredar. Dalam konteks semiotika, bisa dilihat dengan memulai dari tema utamanya: kerja keras, kemenangan, dan persahabatan,” kata Fajar, Senin (4/8/2025).

Dosen yang akrab disapa Fajarjun itu menjelaskan bahwa karakter-karakter dalam serial ini berfungsi sebagai representasi nilai-nilai positif, sementara musuh-musuh mereka menjadi oposisi biner terhadap nilai tersebut.

Dengan demikian, pertempuran dalam cerita One Piece bukan sekadar konflik fisik, tetapi juga pertempuran ideologis dalam ranah budaya populer.

“Pertempuran ideologis ini menegaskan lagi bahwa nilai-nilai tokoh utama adalah yang terbaik dalam arena pertarungan yang dalam manga sebagai bagian dari budaya populer,” lanjutnya.

Baca juga: Cerita Penjual Pernak-pernik Kemerdekaan di Yogya, Selain Merah Putih Bendera One Piece juga Dicari

Elemen Visual sebagai Tanda dan Pilihan Estetika

Fajarjun juga menyoroti elemen visual dalam One Piece yang sangat kuat secara semiotik.

Desain karakter, kostum, hingga properti visual berperan penting dalam membangun makna cerita sekaligus memperkuat daya tarik estetika.

“Elemen-elemen ini merupakan pilihan estetika yang signifikan. Selain berfungsi sebagai bagian penting untuk merepresentasikan budaya dan cerita, elemen visual menjadi menarik minat audiens dalam One Piece,” ujar Fajarjun.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam konteks politik representasi, desain karakter dan ideologi dalam One Piece dapat dibaca melalui pendekatan secondary signification—yakni level kedua dari pemaknaan tanda yang menghubungkan representasi dengan nilai-nilai sosial dan politik yang lebih luas.

“Saya merujuk penelitian dari Thomas Zoth (2011) yang berjudul The Politics of One Piece: Political Critique in Oda's Water Seven. Zoth menyebutkan bahwa alur Water Seven menggunakan karakter untuk mengeksplorasi relasi antara individu dan negara, khususnya dalam hal keamanan nasional. Narasi tersebut menyiratkan bahwa mengorbankan hak individu demi peningkatan keamanan yang dirasakan tidak dapat diterima, dan memberikan perhatian pada sikap kritis terhadap isu-isu politik,” paparnya.

Dalam konteks viralnya bendera One Piece di Indonesia, Fajar melihat penggunaan simbol tersebut sebagai bagian dari aktivisme sosial digital.

 Ia menilai, simbol ini berfungsi sebagai penanda identitas kolektif yang menyatukan individu dalam ruang ekspresi alternatif.

“Ketika bendera dari One Piece digunakan sebagai aktivisme sosial, hal ini bisa dimaknai sebagai simbol identitas kelompok, yang dalam konteks apa yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan aktivisme sosial yang melakukan resistensi,” ujar Fajarjun.

Ia merujuk pada konsep dari sosiolog Alberto Melucci yang menyebut bahwa gerakan sosial memerlukan simbol sebagai alat pemersatu.

Dalam hal ini, bendera One Piece menjadi medium yang memungkinkan individu merasa menjadi bagian dari gerakan, terutama dalam lanskap digital.

“Ini terlihat dengan warganet yang menggunakan bendera One Piece di status media sosial, profil media sosial, membagikan di media sosial, dan bahkan mendiskusikannya di media sosial. Setelahnya, media massa menjadikannya berita, lengkap dengan komentar para pejabat yang acapkali justru malah kontraproduktif bagi pemerintah karena ketidakpahaman,” tutupnya.(*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved