Berita Viral

Kenapa Bendera One Piece Berkibar Jelang 17 Agustus? Apa Maknanya?

Bendera One Piece yang viral ini adalah Jolly Roger, simbol kebanggaan kru Topi Jerami dari serial anime dan manga One Piece karya Eiichiro Oda.

Dok.Istimewa
ILUSTRASI - Logo bajak laut dalam serial anime Jepang, One Piece 

TRIBUNJOGJA.COM - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, jagat media sosial diramaikan oleh pemandangan tak biasa, bendera bajak laut khas anime One Piece berkibar di berbagai tempat.

Simbol tengkorak dengan topi jerami yang dikenal sebagai Jolly Roger milik kru Topi Jerami pimpinan Monkey D. Luffy tiba-tiba menjadi bagian dari lanskap kemerdekaan tahun ini.

Fenomena tersebut bukan sekadar tren budaya pop biasa. Kemunculannya justru memantik pertanyaan penting, apa sebenarnya makna di balik pengibaran bendera One Piece di momen sakral kemerdekaan? Apakah ini bentuk ekspresi kreatif, sindiran halus terhadap kondisi negeri, atau simbol kekecewaan yang terselip dalam budaya populer?

Simbol Jolly Roger: Lebih dari Sekadar Lambang Bajak Laut

Bendera One Piece yang viral ini adalah Jolly Roger, simbol kebanggaan kru Topi Jerami dari serial anime dan manga One Piece karya Eiichiro Oda. 

Lebih dari sekadar lambang bajak laut, Jolly Roger mewakili filosofi kebebasan, keberanian, dan tekad untuk menentang kekuasaan yang menindas.

Di dalam semesta One Piece, setiap bendera bajak laut merepresentasikan karakter dan nilai pemimpinnya. 

Untuk Monkey D. Luffy, sang kapten eksentrik, Jolly Roger mencerminkan semangat persahabatan, perjuangan tanpa henti, dan kebebasan mutlak dari kendali otoritas.

Tak heran bila banyak penggemar khususnya generasi muda melihat bendera ini bukan sekadar ikon anime, tapi juga bentuk simbolik atas keresahan dan idealisme mereka terhadap kondisi sosial-politik saat ini.

Baca juga: Sikapi Fenomena Pengibaran Bendera One Piece, GP Ansor Kota Yogya: Kebebasan Berpendapat

Ini Kata Pakar dan Reaksi Pemerintah

Kehadiran bendera One Piece di tengah suasana menjelang peringatan kemerdekaan RI tak lepas dari sorotan hukum. 

Dilansir dari laman Kompas.com, Riko Noviantoro, Peneliti Kebijakan Publik, mengingatkan bahwa penggunaan simbol-simbol lain saat perayaan nasional tetap harus mengikuti aturan yang berlaku.

“Jika ditemukan pelanggaran terhadap pelecehan pada bendera Merah Putih, maka berpotensi dikenakan sanksi. Ini yang kiranya publik juga memahami,” ujarnya, Kamis (31/7/2025).

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, dijelaskan bahwa bendera negara wajib berada di posisi tertinggi dan tidak boleh dikalahkan secara visual oleh simbol lain saat dikibarkan berdampingan. 

Pasal 21 dan Pasal 24 bahkan melarang tindakan tidak hormat, seperti mencetak gambar lain pada bendera negara atau menempatkannya di bawah bendera asing atau non-resmi.

“Secara pribadi, munculnya bendera One Piece tidak boleh lebih tinggi dari Merah Putih. Karena bendera Merah Putih menjadi bagian dari lambang kesatuan negara,” kata Riko.

Sanksi pidana pun tercantum dalam Pasal 66, yang mengatur hukuman penjara hingga lima tahun atau denda maksimal Rp 500 juta bagi pihak yang menghina bendera negara.

Namun, fenomena ini juga menyiratkan makna lain yang lebih dalam. 

Menurut Riko, pengibaran bendera One Piece tidak semata-mata bentuk ekspresi penggemar budaya pop, melainkan bisa dibaca sebagai sinyal kekecewaan publik terhadap pemerintah.

“Munculnya bendera One Piece merupakan simbol kritik publik terhadap situasi sosial. Tentu kritik itu lebih ditujukan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara,” katanya.

Fenomena ini mengingatkan pada simbol Garuda bertuliskan “Indonesia Darurat” yang sempat viral sebelumnya. 

Menurut Riko, ekspresi publik seharusnya tidak hanya ditanggapi sebagai pelanggaran, tetapi juga sebagai bahan refleksi dan evaluasi bagi para pemangku kebijakan.

Reaksi Pemerintah: Waspada atau Terlalu Curiga?

Pemerintah, melalui Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, menilai fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. 

Ia menyatakan telah menerima informasi dari lembaga intelijen terkait potensi ancaman di balik maraknya simbol bajak laut tersebut.

“Kita juga mendeteksi dan juga dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan intelijen, memang ada upaya-upaya namanya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Dasco, Kamis (31/7/2025), dikutip dari Kompas.

Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dan tetap menjaga solidaritas nasional.

“Imbauan saya kepada seluruh anak bangsa, mari kita bersatu. Justru kita harus bersama melawan hal-hal yang seperti itu,” lanjutnya.

Namun pernyataan Dasco memicu tanggapan dari kalangan akademisi. 

Seperti yang diberitakan Tribunjogja.com sebelumnya, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, menilai bahwa kemunculan simbol ini adalah bentuk respons masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap kurang aspiratif.

“Kelihatan bahwa respons masyarakat ketika menyambut kemerdekaan, ritual 17-an itu akhirnya menunjukkan bahwa masyarakat punya cara-cara untuk menyampaikan nasionalisme dengan cara lain,” jelas Gugun, Jumat (1/8/2025).

Ia juga mengkritik kebijakan penyitaan aset rakyat yang dinilai otoriter, termasuk pemblokiran rekening tanpa penjelasan yang transparan. 

Menurutnya, kebijakan semacam inilah yang justru dapat memecah belah bangsa, bukan ekspresi budaya populer seperti bendera One Piece.

“Justru negara yang harus belajar nasionalisme dari rakyat, pemerintah yang harus belajar mendengarkan apa sih makna nasionalisme dan patriotisme kepada rakyat, bukan sebaliknya,” tegasnya.

Fenomena pengibaran bendera One Piece di tengah peringatan hari kemerdekaan mencerminkan dinamika baru dalam cara masyarakat mengekspresikan nasionalisme, kritik, dan identitas budaya. 

Di satu sisi, ia adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan kecintaan pada budaya populer. Di sisi lain, simbol ini menantang batas antara ekspresi kreatif dan norma kenegaraan.

Apakah ini tanda kegelisahan publik? Atau hanya tren sesaat dari budaya pop?
Satu hal pasti, nasionalisme generasi hari ini tidak selalu datang dalam bentuk yang konvensional. 

Hal seperti ini bisa muncul dalam bentuk simbol animasi, suara protes, atau ekspresi diam penuh makna. Hanya yang diperlukan adalah ruang dialog, bukan sekadar reaksi.

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved