Tak Hanya Touring, HDCI DIY Bangun Masjid dan Tanam Nilai Sosial

Mereka mengedepankan transformasi budaya berkendara yang lebih tertib, ramah, dan membaur dengan pengguna jalan lainnya.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
PELETAKAN BATU PERTAMA - Ketua HDCI Pengda DIY, Ervin Arifianto (kaus hitam perak) menerima dan melakukan peletakan batu pertama pembangunan Tahfiz Center Mutiara Hikmah beserta masjid dan beberapa fasilitas pendukungnya Jumat (21/2/2025) lalu. 

TRIBUNJOGJA.COM -  Komunitas motor besar Harley-Davidson Club Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HDCI DIY) berupaya mengikis stigma arogansi yang selama ini melekat pada para pengendara motor gede (moge).

Melalui pendekatan edukatif, penegakan disiplin internal, dan kegiatan sosial, mereka mengedepankan transformasi budaya berkendara yang lebih tertib, ramah, dan membaur dengan pengguna jalan lainnya.

Hal itu disampaikan Ketua HDCI DIY Ervin Arifyanto, Sekjen dr. Miga Sando, dan Wakil Bendahara Dyan Hari Widodo, dalam Podcast bersama Tribun Jogja bertajuk Bukan Sekadar Touring Tapi Bergerak untuk Perubahan, beberapa waktu lalu.

PERUBAHAN: Podcast HDCI DIY bersama Tribun Jogja bertajuk Bukan Sekadar Touring Tapi Bergerak untuk Perubahan, beberapa waktu lalu.
PERUBAHAN: Podcast HDCI DIY bersama Tribun Jogja bertajuk Bukan Sekadar Touring Tapi Bergerak untuk Perubahan, beberapa waktu lalu. (Tribun Jogja)

Menurut Ervin, pemahaman teknis terhadap karakter motor Harley penting untuk menjawab kesalahpahaman publik.

“Harley-Davidson itu rata-rata beratnya 300 sampai 400 kilogram. Sistem pendinginnya air-cooled, jadi saat dikendarai pelan, mesin akan terasa sangat panas, terutama di area kaki dan paha. Maka kami perlu menjaga kecepatan agar sirkulasi udara tetap lancar dan mesin tidak overheat,” jelasnya.

Ervin menegaskan, kebiasaan “ngebut” bukan semata gaya berkendara, tetapi cara menjaga performa mesin tetap stabil.

Lebih lanjut ia mengakui bahwa kebiasaan moge dikawal dan melaju kencang di jalan raya sempat terjadi di masa lalu.

“Sekarang sudah berubah. Teman-teman lebih tertib lalu lintas. Kami sadar bahwa kita hidup berdampingan di jalan dengan pengendara lain, jadi harus saling menghargai. Di HDCI DIY, kami tidak pakai strobo atau sirine. Dan, semua kegiatan wajib didahului briefing tertib berkendara,” tegasnya.

Sekjen HDCI DIY dr. Miga menambahkan, transformasi perilaku pengendara moge juga disebabkan oleh perubahan kondisi lalu lintas dan persepsi publik.

“Dulu jalanan masih sepi, antipati masyarakat belum tinggi. Tapi sekarang traffic makin padat, risiko konflik makin besar. Kesadaran untuk berubah juga datang karena kami ingin tetap diterima masyarakat. Sekarang, kami fokus menjaga keselamatan dan sopan santun di jalan.”

Dyan Hari Widodo melihat ada tantangan psikologis dalam mengubah perilaku komunitas motor besar.

“Memang masih ada ego. Kadang merasa motornya besar, suaranya khas, ingin menunjukkan eksistensi lewat blayer (menggeber gas). Tapi kita sampaikan, motor Harley sudah besar, nggak perlu lagi cari perhatian dengan suara keras. Fungsi kita di jalan bukan buat pamer, tapi buat riding yang aman dan nyaman.”

Ia menambahkan, budaya komunitas harus tetap memberi contoh, terutama kepada generasi muda pecinta otomotif.

Dalam dua tahun terakhir, HDCI DIY mencatat tumbuhnya minat dari kalangan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Meski mereka belum masuk secara resmi karena keterbatasan usia atau SIM, bibit generasi baru sudah tampak.

“Banyak mahasiswa, pengusaha muda, bahkan anak SMA yang mulai tertarik. Tapi semua tetap kami seleksi. Untuk jadi anggota HDCI, wajib punya SIM, dan wajib ikut kegiatan sosial,” jelas Ervin.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved