Waspada Burnout! Lingkungan Suportif Bisa Redakan Stres Berlebihan

Burnout sejatinya memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan mental bila tidak ditangani dengan tepat.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Freepik
ILUSTRASI - Academic Burnout 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Di tengah padatnya aktivitas akademik, tekanan pekerjaan, dan tantangan kehidupan personal, semakin banyak individu, terutama generasi muda, yang mengalami burnout.

Kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang berlangsung lama akibat stres berkepanjangan.

Meski kerap dianggap wajar dalam dinamika perkuliahan atau dunia kerja, burnout sejatinya memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan mental bila tidak ditangani dengan tepat.

Di antara berbagai strategi pencegahan, komunikasi suportif dari lingkungan sekitar menjadi salah satu cara paling efektif dan sederhana untuk mencegah burnout sejak dini.

Hal ini diungkapkan oleh Sovia Sitta Sari, S.IP., M.Si., dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (30/7/2025).

“Burnout yang banyak dialami mahasiswa dan karyawan muda tidak semata-mata disebabkan oleh beban tugas, tapi juga karena rendahnya kualitas hubungan sosial, baik di masyarakat, keluarga, kantor, maupun kampus. Ketika seseorang merasa sendirian dalam menghadapi tekanan, risiko burnout meningkat signifikan,” jelas Sovia.

Menurutnya, komunikasi suportif bukan sekadar memberikan saran atau nasihat, melainkan melibatkan empati, penerimaan, dan penciptaan ruang aman untuk mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi.

Bentuknya bisa dimulai dari hal sederhana, memberi respons positif saat seseorang curhat, tidak meremehkan keluhannya, serta menunjukkan ketulusan dalam interaksi sehari-hari.

Sovia menegaskan bahwa komunikasi suportif perlu dibangun sebagai budaya sistemik, khususnya di lingkungan kampus.

Kampus sebagai institusi pendidikan memiliki peran strategis dalam menyediakan ruang-ruang dialog yang aman dan inklusif.

“Kampus idealnya menyediakan wadah komunikasi yang informal namun suportif, seperti forum berbagi, layanan konseling yang mudah diakses, atau sesi diskusi santai bersama dosen. Saat mahasiswa merasa punya tempat aman untuk bercerita, mereka bisa membangun penerimaan diri (self-acceptance),” tambahnya.

Meski demikian, Sovia mengingatkan bahwa membangun budaya komunikasi suportif tidak bisa instan. Dibutuhkan konsistensi dan kolaborasi dari seluruh elemen, terutama rekan sebaya yang sering menjadi tempat pertama mahasiswa mencari dukungan.

“Teman sebaya punya peran besar. Sapaan sederhana seperti ‘kamu baik-baik saja?’ atau ‘mau cerita enggak?’ bisa berdampak besar dalam mencegah burnout. Peer support sering kali menjadi jangkar emosional utama bagi anak muda,” ujarnya.

Sovia juga menekankan bahwa burnout bukanlah aib atau bentuk kelemahan. Sebaliknya, kondisi ini merupakan sinyal penting bahwa seseorang sedang membutuhkan dukungan emosional.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved