Merenda Kebersamaan Lewat Dolanan: Gya Dolan Sesarengan, Suara Anak-anak dari Keraton
Di tengah deru zaman yang kian digital dan kompetitif, Keraton Yogyakarta justru memilih kembali ke akar: dolanan anak.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM,YOGYA - Di tengah deru zaman yang kian digital dan kompetitif, Keraton Yogyakarta justru memilih kembali ke akar: dolanan anak.
Bukan semata permainan, tetapi sebagai jembatan untuk menyentuh hati, membangun rasa, dan menumbuhkan kesadaran akan budaya sejak usia dini.
Ruang Kagungan Dalem Museum Wahanarata pada akhir Juli 2025 menjadi saksi bagaimana tawa anak-anak menyatu dengan suara otok-otok kayu dan gemerincing angklung dalam Festival Gya Dolan Sesarengan.
Lebih dari sekadar perayaan budaya, festival ini menjelma ruang kolaboratif yang menyulam nilai-nilai keberagaman, inklusivitas, dan pendidikan karakter—semua dimulai dari permainan.
Acara yang digagas oleh KHP Nitya Budaya ini memasuki tahun ketiga pelaksanaannya. Tahun ini mengusung tema “Manunggaling Surasa,” yang secara harfiah berarti “bersatu dalam rasa yang sama.”
Tema ini menggambarkan semangat inklusif yang begitu terasa sepanjang festival.
“Jadi, hari ini dan kemarin ini kita menyelenggarakan Diadolan-Diadolan, bagian dari komitmen Keraton untuk menjadikan bulan Juli sebagai bulan edukasi dan peningkatan minat budaya untuk anak-anak. Di sini, anak-anak bukan hanya bermain, tapi mereka dikenalkan dengan peta starin, gamelan, bahkan kuliner ramah anak. Kami ingin memastikan generasi berikutnya tumbuh mengenal dan mencintai budaya mereka,” ujar GKR Bendara, Minggu (27/7).
Keraton sadar, dunia anak hari ini bergerak cepat dan digital. Maka, pendekatan dua arah menjadi keharusan.
“Anak-anak generasi Z dan Alfa sekarang ingin interaksi yang aktif, bukan satu arah. Maka kami di museum mulai bertransformasi, dari yang dulunya informatif satu arah menjadi dua arah.
Mereka tidak hanya melihat, tapi ikut meraba, bertanya, dan merasakan langsung,” imbuh GKR Bendara.
Salah satu momen paling menyentuh datang dari kolaborasi antara komunitas Jogja Disability Art dan POTADS DIY (Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome).
Mereka mempersembahkan pertunjukan angklung yang menggetarkan hati, memperlihatkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan batasan.
Festival ini juga menghadirkan pertunjukan Tari Topeng dari Desa Wisata Bobung, Gunungkidul, yang menyajikan kolaborasi lintas usia: anak-anak dan orang dewasa menari bersama dalam gerakan yang ekspresif dan penuh nilai moral.
Ada pula Omah Cangkem yang membawa suasana lebih riang dengan lagu-lagu gerak penuh interaksi.
Tak hanya itu, festival ini juga memberi ruang edukatif yang lebih luas lewat Kinder Musea yang mengusung konsep jelajah museum interaktif, serta Turangga—sebuah wahana edukasi mengenal kuda dan peranannya dalam sejarah keraton.
Tanah Sultan Ground Disewakan untuk Tol, Biaya Sewa Rp12.500 per Meter per Tahun |
![]() |
---|
Luas Tanah Keraton Yogyakarta yang Dipakai Jalan Tol Jogja-Bawen-Solo |
![]() |
---|
Reaksi Bupati-Wabup Klaten setelah Mendapat Gelar Kehormatan dari Keraton Surakarta |
![]() |
---|
Bupati dan Wakil Bupati Klaten Kini Bergelar KRA dan KRAT |
![]() |
---|
Jadwal dan Rute Kirab 1 Suro 2025 di Solo: Tradisi Pusaka Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.