KISAH Penyesalan Mantan Napiter JAD di Jogja, Sadar Usai Jalani Hukuman hingga Ikrar Setia pada NKRI

Saat itu Mahasin tidak menyadari dan tetap aktif menjadi pendakwah, bahkan ia didaulat sebagai Amir (pemimpin) Fordai wilayah DIY.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA/Miftahul Huda
PENYESALAN - Mantan Napiter anggota JAD saat sesi wawancara di Mapolda DIY, Selasa (24/6/2025) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perasaan bersalah masih mengganjal di hati lelaki paruh baya bernama Mahasin Zaeni, yang turut andil dalam penyampaian dakwah melalui sebuah organisasi Forum Dakwah Islamiyah (Fordai).

Organisasi tersebut berdasarkan hasil ungkap kasus dari aparat kepolisian, terafiliasi dengan jaringan terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Mahasin pernah menjalani vonis kurungan pidana lima tahun enam bulan lantaran terbukti aktif, serta mengikuti pengarahan bersama di wilayah Batu-Malang, Jawa Timur sekitar 2015 dalam upaya pembentukan organisasi JAD.

"Awalnya masuk organisasi kampus. Kemudian masuk Fordai. Di sana memang gak ada masalah jarena dakwahnya di masjid-masjid," jelasnya saat diwawancara di sela agenda Indonesia Tanpa Radikalisme Polda DIY, Selasa (24/6/2025).

Perasaan menggebu-gebu muncul di benak Mahasin, ketika organisasinya itu memproklamirkan untuk mendukung khilafah dan menegakkan syariat islam dengan cara yang radikal.

Saat itu Mahasin tidak menyadari dan tetap aktif menjadi pendakwah, bahkan ia didaulat sebagai Amir (pemimpin) Fordai wilayah DIY.

"Karena memang ilmu dakwah yang kami tekuni di bidang akidah tentu sangat menyentuh untuk terlibat dalam dukungan itu," ujarnya.

Awalnya dia tidak mengetahui arah perjuangan serta dakwah yang akan dilakukan organisasinya.

Baca juga: Ratusan Personel Gabungan Polda DIY dan Polresta Yogyakarta Turun ke Sungai Code

Dia baru memahami ketika dirinya mendapat undangan pengarahan di Malang bersama sejumlah perwakilan dari masing-masing daerah.

"Kami disuruh menyebarkan dakwah kepada masyarakat, mencari sebanyak-banyaknya umat," ungkapnya.

Menurut Mahasin, para umat yang bergabung ke komunitasnya itu akan dilatih dan dikirim ke wilayah konflik Suriah.

"Tetapi sampai saya vonis itu gak ada yang berangkat ke sana (Suriah). Karena gak ada dana," jelas Mahasin.

Selama di Batu-Malang, Mahasin menyaksikan adanya upaya pembentukan sebuah organisasi yang nantinya akan mengawal pembentukan negara khilafah.

"Jadi waktu itu JAD baru mau dibentuk, ya setelah forum di Batu-Malang itu ada dukungan membentuk jemaah (JAD)," ungkapnya.

Sepulangnya dari Malang, bapak lima anak ini melanjutkan dakwahnya sebagaimana arahan dari hasil rapat di Batu-Malang tersebut.

Tak berselang lama, seusai pemerintah mengumumkan JAD sebagai organisasi radikal dan menyimpang, selanjutnya Mahasin diamankan oleh aparat kepolisian.

"Diamankan habis dari Purwokerto, pas beli pulsa. Itu langsung disergap, wah ini pasti dari Densus 88. Saya diam saja," ungkap lelaki berusia 64 Tahun ini.

Penjara Menyadarkan

Saat itu, dia divonis lima tahun enam bulan karena terbukti aktif dalam organisasi radikal JAD.

Kehidupan di penjara memaksa dia berpikir dan mengevaluasi semua perbuatan yang dilakukan sebelumnya.

"Akhirnya bisa sadar, ada evaluasi pas di dalam (penjara) ternyata selama ini saya belajar agama hanya dari satu sumber," ungkapnya.

Setelah tersadar, dirinya bersedia kembali melafalkan ikrar setia NKRI dan menjalani proses deradikalisasi.

"Setelah itu menyesal, ada perasaan bersalah kepada rekan-rekan. Mereka ikut begitu karena dakwah saya. Jadi saya harus mengembalikan lagi paham mereka," sesalnya.

Saat ini Mahasin mengaku masih memiliki keinginan kuat untuk kembali berdakwah dengan tuntunan yang benar untuk menebus kesalahannya. Namun menurutnya hal itu tidaklah muda.

Sebagai cara mengisi waktu luang, dia kini membantu memasarkan usaha konveksi sang istri.

"Keinginan dakwah pengen, tapi tidak mudah, ya. Kalau sekarang hanya bantu jahitan istri," terang dia.

Mahasin berpesan masyarakat ketika ingin belajar agama jangan hanya dari satu sumber saja.

Dia juga berpesan agar memahami sesuatu dengan utuh.

"Kalau belajar agama jangan satu sumber," tutup pria asal Sleman ini. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved