Belajar dari Longsor Tambang di Cirebon, Marrel Dorong Tata Kelola Tambang Berkelanjutan di DIY

Kepala Bebadan Pangreksa Loka, menyampaikan keprihatinannya sekaligus menggarisbawahi pentingnya penataan sektor pertambangan.

|
Editor: ribut raharjo
ist
Kepala Bebadan Pangreksa Loka, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, RM Gusthilantika Marrel Suryokusumo, bersama pegiat seni dan lingkungan Resan Blues melakukan kampanye konservasi air dan penanaman pohon di Gunungkidul. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tragedi longsor di kawasan tambang batu alam Gunung Kuda, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon yang menewaskan belasan orang, menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

RM Gusthilantika Marrel Suryokusumo atau akrab disapa Mas Marrel selaku Kepala Bebadan Pangreksa Loka, menyampaikan keprihatinannya sekaligus menggarisbawahi pentingnya penataan sektor pertambangan, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tengah membahas Raperda Pertambangan.

“Pertama, saya ingin menyampaikan turut berduka cita kepada keluarga korban. Ini adalah musibah yang sangat disayangkan. Seharusnya tidak perlu terjadi, tetapi ya ini namanya musibah. Seperti yang juga disampaikan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi, lokasi itu memang rawan,” ujar Mas Marrel saat ditemui usai agenda pertemuan dengan warga, Tambak Bayan, Catur Tunggal, Depok, Sleman pada Minggu (1/6/2025).

Mas Marrel menilai, insiden tersebut harus menjadi pengingat serius bagi seluruh daerah, termasuk DIY, dalam menata ulang pengelolaan tambang agar tidak berujung pada bencana serupa. 

Ia menyebutkan bahwa persoalan tambang di Yogyakarta bukan hal baru. Dari Sleman utara hingga Gunungkidul bagian timur, kerusakan akibat pertambangan sudah banyak terjadi.

“Di Sleman utara, di lereng Merapi, dan bahkan di Ponjong Gunungkidul, tambang kapur masih berlangsung tanpa standar keamanan dan kelestarian yang jelas. Truk-truk tambang merusak jalan hingga melewati kawasan sekolah. Ini terjadi karena lemahnya penegakan di lapangan, walaupun izinnya ada,” tegasnya.

Mas Marrel mencontohkan keberhasilan transformasi kawasan Tebing Breksi dari lokasi tambang ilegal menjadi ikon wisata berkelas nasional. 

Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X bersama GKR Mangkubumi, RM Gusthilantika Marrel Suryokusumo dan Pemuda Lintas Agama, Senin (20/1/2025) ke Gunung Merapi.
Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X bersama GKR Mangkubumi, RM Gusthilantika Marrel Suryokusumo dan Pemuda Lintas Agama, Senin (20/1/2025) ke Gunung Merapi. (Istimewa)

"Tahun ini kita baru merayakan 10 tahun Breksi. Tahun 2015, Ngarsa Dalem (Sri Sultan Hamengkubuwono X) menutup tambang ilegal di sana. Masyarakat dialihprofesikan ke sektor wisata. Dan sekarang, mereka justru mendapatkan penghasilan yang jauh lebih baik, lebih cepat, dan tanpa harus merusak lingkungan,” terang Marrel.

Menurutnya, Breksi adalah contoh konkret bahwa sektor pariwisata bisa menjadi jalan keluar yang realistis bagi masyarakat eks penambang. 

“Kalau orang bilang tambang menghasilkan uang cepat, wisata juga bisa. Bahkan lebih aman, berkelanjutan, dan menjunjung prinsip Memayu Hayuning Bawana yang artinya mempercantik dunia ciptaan Tuhan. Itulah filosofi Kraton yang terus kami perjuangkan,” tambahnya.

Terkait pembahasan Raperda Pertambangan di DPRD DIY, Mas Marrel menekankan bahwa fokus utama seharusnya bukan hanya pada legalitas, melainkan pada enforcement atau penegakan aturan. Ia mengakui regulasi yang ada sudah cukup lengkap, namun penerapannya masih lemah.

“Di Jawa Barat itu legal, tapi tetap ada masalah K3. Sama juga di Yogyakarta. Kita punya aturan, tapi jembatan bisa jebol di Kulon Progo karena aktivitas tambang. Jadi bukan soal aturannya kurang, tapi ketegasan pelaksanaannya,” katanya.

Mas Marrel mengapresiasi upaya beberapa dinas di DIY yang mulai tegas menindak tambang-tambang bermasalah, termasuk dengan mengeluarkan teguran hingga menindak secara hukum. 

Namun ia menegaskan, perlu konsistensi agar Yogyakarta terbebas dari praktik tambang yang dibekingi oleh kekuatan tertentu.

“Kalau ada yang bilang tambang dibekingi, saya ingin Yogyakarta bersih dari itu. Jangan sampai pertambangan di DIY jadi ladang mafia. Harus sehat, terbuka, dan bertata kelola baik. Kalau tidak bisa begitu, sebaiknya tidak usah dilanjutkan,” tegasnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved