Blokir Sertifikat Guru Honorer Korban Mafia Tanah di Sleman Dibuka, Ini Klarifikasi BPN DIY

Kepala Kanwil BPN DIY, Dony Erwan Brilianto, menegaskan pembukaan blokir oleh Kantor Pertanahan Sleman telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Dok.Istimewa
ILUSTRASI Sertifikat tanah 

Dony pun tidak membantah bahwa tidak ada blokir baru setelah tahun 2012.

Namun, ia menegaskan bahwa sekalipun permintaan blokir dilakukan oleh aparat penegak hukum, selama mengacu pada aturan 1997, masa berlaku tetap 30 hari.

“Jadi kalau memang 2012, meskipun dari APH (aparat penegak hukum), itu juga berlakunya hanya 30 hari. Karena itu acuannya yang lama,” ujar Dony.

Baca juga: BARU TERUNGKAP! Ternyata Blokir Sertifikat Tanah Sengketa oleh BPN Hanya Berlaku 30 Hari

Ia menambahkan, ketika Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2017 mulai berlaku, maka kasus-kasus baru atau permintaan blokir setelah tahun tersebut akan mengacu pada peraturan tersebut.

“Kalau seperti di Bantul itu pakainya yang 2017, karena kejadiannya juga setelah aturan itu berlaku. Tapi kalau 2012 ya tetap pakai aturan yang lama,” imbuhnya.

Terkait penyelesaian sengketa ini, Dony menyarankan agar Hedi menempuh jalur musyawarah dengan pihak ketiga yang kini telah memegang hak atas tanah tersebut melalui proses lelang bank.

Alternatif lainnya adalah melalui gugatan hukum baru di pengadilan.

“Karena kami belum bisa bertindak kalau belum ada gugatan. Putusan pengadilan itu yang menjadi dasar kami untuk mengambil langkah selanjutnya,” jelasnya.

Meski tidak ingin menilai siapa yang benar atau salah, Hedi tetap bersikukuh bahwa proses hukum yang belum rampung seharusnya menjadi dasar kuat untuk mempertahankan blokir sertifikat.

Ia menyerahkan penilaian kepada pakar hukum dan aparat berwenang.

“Mana yang salah, mana yang benar, itu saya tidak akan menilai. Yang menilai adalah pakar hukum dan ahli hukum,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, korban mafia tanah di Sleman, Hedi Nudiman, masih berjuang mencari keadilan atas tanah dan rumah milik keluarganya yang digelapkan oleh oknum tak bertanggung jawab. 

Hedi, seorang guru honorer, bersama istri dan tiga anaknya, terancam kehilangan tempat tinggal setelah tanah seluas 1.474 meter persegi di Dusun Paten, Tridadi, Sleman, beralih kepemilikan tanpa sepengetahuan mereka.

Awal mula kasus ini terjadi pada tahun 2011, ketika Evi Fatimah, istri Hedi, menyewakan rumah warisan orang tuanya kepada Suharyati dan anaknya, Sujatmoko.

Perjanjian sewa rumah selama lima tahun disepakati dengan nilai Rp 25 juta. Namun, dalam prosesnya, sertifikat tanah diminta sebagai jaminan dan Evi dibawa ke kantor notaris untuk menandatangani surat yang disebut sebagai perjanjian sewa-menyewa.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved