Di Bawah Tenda dan Hujan Deras, Mahasiswa UGM Kritik Efisiensi dan Penanganan Kekerasan Seksual
Aksi tenda ini menjadi bentuk solidaritas, tak hanya untuk isu di UGM tapi juga sebagai respons atas situasi nasional.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Hujan deras mengguyur kampus Universitas Gadjah Mada sore ini, Kamis (15/5/2025).
Namun, derasnya air dari langit tak menyurutkan semangat sekelompok mahasiswa yang mendirikan sebuah tenda besar berwarna biru di halaman Balairung Pancasila sejak kemarin Rabu (14/5/2025).
Di balik tenda, mereka tetap bertahan, menyuarakan keresahan yang sudah lama bergolak: tentang militerisme, ruang publik yang kian menghilang, dan penanganan kasus kekerasan seksual yang dinilai semrawut.
“Kami bertahan di sini untuk didengar. Jadi, kami bergantian. Kalau ada yang kuliah pagi, maka mereka siang di sini, begitu juga yang kuliah siang, paginya di sini,” ujar Andri, bukan nama sebenarnya, salah satu kawan dari Aliansi Mahasiswa UGM, ditemui Tribun Jogja di dalam tenda.
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa.
Itu lahir dari diskusi panjang dan kegeraman yang dipupuk di berbagai fakultas dan organisasi kemahasiswaan.
Mahasiswa menyoroti sejumlah kebijakan kampus yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan mahasiswa, sivitas akademika dan masyarakat secara umum.
Salah satu isu yang diangkat adalah militerisme dalam kampus. Isu tersebut sempat menjadi pembicaraan hangat ketika Universitas Udayana bekerja sama dengan TNI AD untuk pembinaan wawasan kebangsaan.
“Dalam struktur keamanan kampus UGM, Kepala Kantor Keamanan, Keselamatan Kerja, Kedaruratan dan Lingkungan (K5L) UGM masih aktif menjabat sebagai polisi di Polda DIY. Seharusnya jabatan ini diisi oleh orang sipil, bukan aparat yang masih aktif di institusi militer atau kepolisian” ujar Andri.
“Mungkin itu juga yang membuat respons K5L berbeda dari tahun sebelumnya. Kalau tahun sebelumnya, kepala K5L itu polisi yang sudah pensiun. Bagaimanapun dia sipil, jadi kalau ada aksi begini, kami tidak dicegat. Kalau kemarin, kami dicegat, dihadang tidak boleh mendirikan tenda dan lain sebagainya,” jelas dia.
Baca juga: Jawaban Mantan Dosen Fakultas Kehutanan UGM yang Terseret Kasus Ijazah Jokowi
Isu yang mereka suarakan tak berhenti di situ.
Mahasiswa juga menyoroti kebijakan efisiensi kampus yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Pembatasan jam operasional kampus, yang kini hanya dibuka hingga pukul 22.00 WIB, menjadi pukulan bagi mereka yang membutuhkan ruang publik untuk belajar, berdiskusi, atau berorganisasi.
“Banyak mahasiswa selesai kuliah jam 17 sore. Tapi setelah itu, mereka tidak punya ruang memadai untuk beraktivitas. Ruang-ruang kampus dikunci, akses fasilitas dibatasi. Padahal, kami butuh ruang publik,” tambahnya.
Tak hanya itu, penanganan kasus kekerasan seksual di kampus juga menjadi sorotan.
Mereka menilai Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM belum bekerja optimal.
Mahasiswa mendesak pembacaan ulang terhadap paradigma dan aturan yang digunakan, serta restrukturisasi tim satgas agar lebih responsif dan berpihak kepada korban.
Aksi tenda ini menjadi bentuk solidaritas, tak hanya untuk isu di UGM tapi juga sebagai respons atas situasi nasional.
Mereka menyebut bahwa apa yang terjadi di kampus adalah cerminan dari kebijakan pemerintah pusat yang cenderung mengakomodasi pendekatan keamanan ketimbang pendidikan yang demokratis dan berpihak pada publik.
“Kami hanya ingin kampus ini jadi tempat yang aman, adil, dan manusiawi,” tutup Andri.
Tanggapan UGM
Menanggapi aksi tersebut, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., menyampaikan bahwa aksi mahasiswa merupakan bentuk ekspresi kepedulian dan sikap kritis dalam merespons berbagai persoalan aktual.
Menurutnya, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan pendapat merupakan bagian dari tanggung jawab sosial yang harus dihargai.
“Aksi itu bagian dari kepedulian dan sikap kritis mahasiswa melihat realitas situasi ekonomi, sosial, dan politik makro, termasuk beberapa isu. Itu hal yang lumrah saja menurut saya. Dan saya yakin mahasiswa juga punya tanggung jawab secara sosial atas situasi yang dianggap perlu diperbaiki,” ujarnya.
Baca juga: Rektor UGM Yogyakarta, Dekan, Kepala Perpustaaakan Digugat Gara-gara Ijazah Jokowi
Lebih lanjut, Arie menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai non-kekerasan dalam penyampaian aspirasi agar tidak memicu reaksi yang kontraproduktif.
Ia menyatakan bahwa isu-isu yang disampaikan mahasiswa, seperti ancaman terhadap demokrasi, kekhawatiran akan remiliterisasi, meningkatnya pengangguran, serta dampak krisis terhadap masyarakat, merupakan persoalan nyata yang perlu mendapat perhatian bersama.
“UGM punya tanggung jawab untuk bisa merespons dengan porsinya. Kami meyakini krisis ini memang perlu menjadi perhatian secara serius. Semoga saja ini akan makin membaik,” tuturnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya universitas dan masyarakat untuk secara aktif membaca persoalan-persoalan nyata di tengah masyarakat melalui pendekatan dialog dan diskusi yang konstruktif.
Menurutnya, pendekatan tersebut dapat menghasilkan rekomendasi strategis dalam mengatasi tantangan bangsa.
“Kuncinya membaca problem-problem real di masyarakat seperti apa. Kita bisa dialog, bisa berdiskusi, bisa menghasilkan rekomendasi-rekomendasi strategis untuk memperbaiki bangsa ini, memperbaiki situasi ini,” terangnya.
Di tengah menguatnya arus disinformasi di ruang publik, Arie menilai bahwa kritik mahasiswa juga berperan penting dalam menjaga kewarasan sosial.
Ia mengingatkan bahwa penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan berita palsu telah memperkeruh suasana dan memengaruhi psikologi publik secara luas.
“Sekarang ini ruang publik kita itu juga makin kumuh. Karena hoax, hate speech, fake news itu begitu liar yang memengaruhi psikologi publik. Secara sosial ini akan menjadi bentuk terrorizing,” ungkapnya.
Karena itu, menurutnya, negara harus hadir dengan kebijakan yang cepat dan tepat untuk memberikan kepastian dan menjawab keresahan masyarakat.
UGM, lanjut Arie, senantiasa berkomitmen untuk menyediakan ruang aman dan mendukung kebebasan sivitas akademika dalam menyampaikan pendapat, sepanjang dilakukan secara damai dan tidak mengganggu ketertiban umum maupun aktivitas kampus.
“Negara harus bisa memperbaiki kecepatan untuk merespons supaya ada penanganan secara serius, ada kepastian. Ketidakpastian itu membuat orang bingung mau ke mana,” tandasnya. (*)
Status Mahasiswa Magister UGM Kampus Jakarta Jadi Aktor Intelektual Pembunuhan Kacab Bank |
![]() |
---|
UGM Nonaktifkan Mahasiswa Pelaku Penculikan dan Pembunuhan Kacab Bank BUMN |
![]() |
---|
98,8 Persen Siswa SMAN 3 Yogyakarta Tembus Perguruan Tinggi Impian, Mayoritas ke UGM |
![]() |
---|
Pakar UGM: Soal Royalti, Perlu Transparansi Pengelolaan Dananya |
![]() |
---|
Mahasiswa UGM Diajak Kelola Keuangan dengan Bijak, Jangan FOMO |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.