Dosen UGM: RUU Penyiaran Multitafsir, Perlu Ditinjau Ulang

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Rahayu, M.Si., MA menyebut beberapa poin dalam RUU Penyiaran perlu dipertimbangkan kembali

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
POIN RUU PENYIARAN: Foto dok ilustrasi. Logo Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Rahayu, M.Si., MA menyebut beberapa poin dalam RUU Penyiaran perlu dipertimbangkan kembali terkait kewenangan yang berlebihan bagi lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Pada satu sisi, pasal ini dapat mendorong penayangan konten-konten budaya daerah dan memperkuat media lokal.

Sayangnya, pasal tersebut tidak menjelaskan bagaimana mekanisme operasionalnya, mulai dari pembentukan KPI Daerah hingga pengelolaan finansialnya. “Dikhawatirkan usulan ini justru akan membebani anggaran di tingkat daerah,” imbuhnya.

Rahayu menegaskan, RUU Penyiaran masih masih memerlukan pertimbangan terhadap sejumlah pasal yang tidak efisien karena tumpang tindih dengan kebijakan lain.

Menurutnya, jangan sampai regulasi soal siaran justru mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan mengancam perseorangan di platform digital.

“RUU ini saya lihat justru banyak menghukum content creator, bukan platform. Aturan itu serahkan saja sama platform, mereka yang bertanggung jawab memoderasi konten. Pemerintah bisa berdiskusi dengan platform,” ucapnya.

Berkaca pada regulasi siaran di Eropa, undang-undang audiovisual memberikan pengaturan jelas pada siaran televisi dan platform digital.

Contohnya, dorongan konten lokal, larangan penayangan konten diskriminatif, hingga aturan periklanan.

Regulasi ini juga membedakan pengaturan pada keduanya, seperti regulasi penayangan produk tembakau di siaran televisi ataupun pengaturan video-sharing di platform digital.

Hal yang penting adalah bahwa regulasi tersebut mengatur penyelenggara, lembaga, perusahaan siaran, bukan perseorangan. 

Lebih lanjut, Rahayu menyampaikan ada poin penting yang luput dari RUU Penyiaran. Regulasi selama ini masih melihat garis besar industri media nasional saja, belum berupaya menggandeng media siaran lokal.

Padahal, sejak beralih ke digital, banyak TV lokal yang sulit bertahan, bahkan tumbang. Penting bagi pemerintah untuk melindungi industri penyiaran, bukan hanya memberlakukan pelarangan atau pembatasan.

“Pada dasarnya keberadaan media ini kan bentuk dari suara masyarakat, maka perlu dilindungi,” pungkasnya. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved