Puisi

Makna Puisi Aku Berkisar Antara Mereka Karya Chairil Anwar, Sebuah Potret Eksistensi Sosial

Puisi "Aku Berkisar Antara Mereka" karya Chairil Anwar adalah sebuah ungkapan eksistensial yang kuat, merefleksikan pergulatan individu dalam menghada

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Tribunnews.com
Chairil Anwar sang penyair terkemuka berasal dari Indonesia 

Sang "aku" penyair merasa terpaksa untuk "bertukar rupa," kehilangan keotentikan dirinya demi bisa berbaur atau memahami "kenyataan-kenyataan yang didapatnya" dari orang-orang di sekitarnya. 

"Gelanggang bersenda" bisa diinterpretasikan sebagai arena kehidupan sosial yang penuh dengan kesenangan dangkal, namun di baliknya tersembunyi realitas yang mungkin pahit atau tidak memuaskan bagi sang penyair. 

Tindakan "memakai mata mereka" menyiratkan upaya untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain, sebuah bentuk alienasi diri demi mencoba memahami atau diterima oleh lingkungan sosial.

Bait kedua dan ketiga memperluas gambaran realitas sosial yang dihadapi. 

Referensi pada "bioskop Capitol putar film Amerika" dan "lagu-lagu baru irama mereka berdansa" melukiskan pengaruh budaya asing yang mungkin mendominasi atau terasa asing bagi identitas "kami." 

Meskipun berada di tengah keramaian dan hiburan, "Kami pulang tidak kena apa-apa," sebuah pernyataan ironis yang menyiratkan kekosongan atau ketidakbermaknaan dari pengalaman tersebut. 

Bahkan ancaman "Ajal macam rupa jadi tetangga" terasa hadir namun tidak memberikan dampak yang signifikan, seolah-olah kematian dan bahaya telah menjadi bagian yang biasa dan diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Penantian "trem dari kota" di halte menjadi metafora untuk harapan akan datangnya sesuatu dari luar, dari pusat peradaban, yang mungkin membawa perubahan atau jawaban. 

"Trem yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa" adalah citra yang kuat, menggambarkan waktu yang terus berjalan, menggerogoti kehidupan dan harapan dengan kegelapan malam. 

Kondisi "kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga" melukiskan sebuah komunitas yang lemah, cacat secara fisik atau moral, dan tidak memiliki kepastian atau harapan di masa depan. 

Mereka hanya bisa "sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja," mencari sedikit penerangan dan kehangatan di tengah kegelapan dan ketidakpastian. 

Sementara itu, "tahun gempita terus berkata," menyiratkan bahwa hiruk pikuk dan perubahan zaman terus bergulir tanpa mempedulikan kondisi "kami" yang terpinggirkan.

Bait terakhir membawa sentuhan keputusasaan dan harapan yang paradoks. 

"Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota" mengulang kembali situasi tanpa harapan, di mana kesulitan ("hujan") terus menimpa dan satu-satunya harapan adalah kedatangan sesuatu dari luar yang tak pasti. 

"Ah hati mati dalam malam ada doa / Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka" adalah ungkapan kerinduan akan pemahaman dan cinta dari pembaca puisinya. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved