Begini Dampak dan Respon Investor Pasar Modal Hadapi Kebijakan Resiprokal AS Untuk Indonesia

AS adalah salah satu investor institusi terbesar di dunia, termasuk di emerging markets seperti Indonesia.

Pixabay.com / Gerd Altmann
ILUSTRASI - Bursa saham 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan DIY, Irfan Noor Riza, mengungkapkan kebijakan resiprokal dari Amerika Serikat untuk Indonesia memberikan dampak pada arus investasi asing (Foreign Capital Inflow). 

Ia menyebut AS adalah salah satu investor institusi terbesar di dunia, termasuk di emerging markets seperti Indonesia.

Jika AS menerapkan kebijakan resiprokal terhadap Indonesia, maka investor institusi dari AS bisa menarik dana dari pasar modal Indonesia, baik dari saham maupun obligasi.

“Hal ini bisa menyebabkan net sell oleh investor asing, sehingga akan menekan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) dan melemahkan nilai tukar rupiah,” ungkapnya, Jumat (11/04/2025).

Ia menerangkan kebijakan AS tersebut dapat memunculkan sentimen negatif global terhadap emerging market, volatilitas pasar meningkat, investor menjadi lebih risk-averse, Safe haven asset seperti dolar dan emas naik, sedangkan aset lain seperti saham di negara berkembang bisa tertekan. 

Kemudian, IHSG bisa melemah karena tekanan jual dari investor asing.

Yield obligasi pemerintah bisa naik, karena investor asing keluar dari pasar obligasi RI, sehingga harga obligasi turun dan yield naik. 

“Dan hal ini dapat berimbas ke biaya pinjaman pemerintah dan swasta, memperlambat aktivitas ekonomi jangka pendek,” terangnya.

Baca juga: Perang Dagang Amerika vs China Picu Harga Emas Turun

Ada beberapa sektor yang yang akan terdampak, seperti tekstil dan garmen, produk sawit olahan, otomotif dan komponen, serta teknologi dan digital.

Emiten-emiten di sektor tersebut berpotensi mengalami penurunan kinerja, yang tercermin dari penurunan harga saham, revisi target kinerja atau laba, dan penurunan minat investor.

Dalam menghadapi ketidakpastian ini, investor cenderung melakukan rebalancing portofolio dengan pengurangan eksposur.

Investor institusional dan asing mungkin mengurangi saham di sektor-sektor yang paling terpengaruh, misalnya, sektor ekspor seperti tekstil, otomotif, atau produk sawit atau sektor yang sangat terkait dengan perdagangan global.

Selain itu, investor juga bergeser ke aset safe haven seperti obligasi pemerintah atau komoditas misalnya, emas. 

Investor juga mengambil pendekatan berbeda terhadap dampak kebijakan.

Sebagai respon jangka pendek, arus keluar dana atau penjualan saham oleh investor asing mungkin terjadi secara massif.

Hal ini disebabkan oleh reaksi instan terhadap berita kebijakan atau analisis pasar yang memperkirakan kerugian.

Sementara investor yang lebih fokus pada fundamental ekonomi Indonesia, mungkin melihat adanya peluang investasi, terutama jika pasar sudah menghargai terlalu berat respons jangka pendek.

Investor akan menilai apakah pergerakan harga saham telah mewakili kondisi ekonomi dasar atau hanya reaksi emosional.

“Volatilitas harga saham ini bisa membawa keuntungan bagi orang-orang yang bisa melihat peluang. Selalu ada peluang di pasar modal, terlepas dari apa pun kondisinya. Investor yang jeli memanfaatkan peluang, kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini menjadi momentum yang tepat untuk berinvestasi,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved