Ekonom FEB UGM: Evaluasi APBN Perlu Berbasis Bukti Empiris


Selama dua bulan pertama tahun 2025, penerimaan negara mencapai Rp 316,9 triliun, sementara realisasi belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
dok. tribunnews
ILUSTRASI APBN 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kementerian Keuangan mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga hingga Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Selama dua bulan pertama tahun 2025, penerimaan negara mencapai Rp 316,9 triliun, sementara realisasi belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun.

Ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Evi Noor Afifah, menekankan pentingnya evaluasi terhadap APBN untuk menilai kualitas dan efektivitas pengelolaan keuangan negara.

Hal ini dapat dilakukan dengan penganggaran berbasis kinerja, yang mencakup lima elemen utama, di antaranya Standar Pelayanan Minimal (SPM), Analisis Standar Belanja, indikator kinerja, target kinerja, dan Standar Satuan Harga (SSH).

Hanya saja, saat ini belum terdapat regulasi terkait Analisis Standar Belanja di Indonesia, sehingga belum dapat dilakukan penilaian akan kelayakan belanja dari suatu aktivitas yang dilakukan pemerintah.

“Ini seringkali menjadi alasan mengapa kualitas belanja belum baik karena belum ada Analisis Standar Belanja,” ungkap Evi dalam Economic and Business (EB) Journalism Academy di FEB UGM beberapa waktu lalu.

Ia menyampaikan dalam proses perumusan suatu kebijakan, pemerintah perlu menerapkan evidence-based policy atau perumusan kebijakan yang didasarkan pada data, riset, dan bukti empiris, bukan sekadar opini, intuisi, ataupun kepentingan politik.

Pada perumusan kebijakan jenis ini, pemerintah berfokus pada hasil dari kebijakan dengan menggunakan indikator-indikator tertentu dalam menilai keberhasilannya.

Baca juga: Mendiktisaintek Sebut Pendaftar Masuk Perguruan Tinggi Menurun, Ini Faktornya

Kendati begitu, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah semakin jarang menggunakan kebijakan berbasis bukti ini.

Lebih lanjut dosen Ilmu Ekonomi FEB UGM sekaligus Deputi Penelitian dan Pengembangan Ekonomi di Research and Development for Societal Impact Unit (RDSI) FEB UGM ini menyampaikan evaluasi kebijakan dapat dilakukan di berbagai tingkatan.

Melalui evaluasi, pemerintah dapat menentukan apakah kebijakan perlu dilanjutkan, direvisi, diekspansi, direplikasi, atau dihentikan.

Ia juga menekankan pentingnya data dalam melakukan evaluasi, baik berupa data fiskal maupun data sektor tertentu yang tersedia di tingkat pusat dan daerah untuk memudahkan proses evaluasi.

“Sementara, dalam menganalisis kebijakan atau program, pemerintah menggunakan kerangka logis yang mencakup dampak dari program, hasil kegiatan, target, serta program atau kebijakan yang diterapkan untuk mencapai target tersebut,” terangnya.

Evi menekankan bahwa belanja publik harus berfokus pada kualitas dan outcome dibandingkan hanya pada kuantitas dan output dalam perencanaan nasional dan sektoral.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved