Ketika Kebudayaan Prancis Muncul di Aksi Tolak Revisi UU TNI di Balairung UGM

Pada aksi Tolak RUU TNI yang digelar di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (18/3/2025), kebudayaan Prancis itu pun muncul lagi.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA/Ardhike Indah
KEBUDAYAAN PRANCIS: Sejumlah mahasiswa Sastra Prancis UGM ikut bersolidaritas dalam aksi Tolak RUU TNI yang digelar di Balairung UGM, Selasa (18/3/2025). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kebudayaan Prancis menjadi salah satu perbincangan yang cukup hangat dibicarakan di media sosial apabila berkaitan dengan kritik kepada pemerintah.

Di media sosial, sejumlah warganet mendukung adanya hukuman ala negara Prancis di era Revolusi Prancis, seperti penggunaan guillotine, alat untuk menghukum mati orang yang terlibat kriminalitas, terhadap orang-orang yang bersalah.

Dalam aksi demonstrasi Kawal Putusan MK yang digelar pada Agustus 2024 lalu di Yogyakarta, guillotine dibawa oleh massa aksi sebagai simbol untuk menghukum penjahat.

Kali ini, di aksi Tolak RUU TNI yang digelar di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (18/3/2025), kebudayaan Prancis itu pun muncul lagi.

Namun, bukan guillotine yang dibawa, melainkan pemikiran kebebasan berpendapat khas Prancis yang mendorong mahasiswa untuk bersolidaritas menghadang TNI duduki jabatan sipil.

“Kebetulan materi hari ini tentang kebudayaan Prancis, dan temanya adalah manifestation (demonstrasi). Kami belajar tata bahasa bagaimana menyampaikan tujuan dalam bahasa Perancis, lalu langsung mempraktikkannya,” ujar Ari kepada Tribun Jogja, ditemui usai aksi.

Sejumlah mahasiswa Sastra Prancis angkatan 2022 itu terlihat antusias mengikuti aksi sambil membawa tulisan-tulisan berbahasa Prancis.

Baca juga: Akademisi di Jogja Tolak Revisi UU TNI: Tak Ada Urgensinya

Beberapa kalimatnya antara lain: Je manifeste en vue d’obtenir justice (Saya berdemonstrasi untuk mendapatkan keadilan), nous crions devnat le rectorat afin que l’historie ne se répète pas (kami berteriak di depan rektorat agar sejarah tidak terulang kembali) dan lain sebagainya

“Kami mengajak mereka untuk memahami bagaimana Prancis, yang setiap pekan membicarakan liberté d’kebebasan berekspresi), menjadikan demonstrasi sebagai bagian dari budaya politiknya. Di Prancis, mengkritik pemerintah dan turun ke jalan itu hal yang sangat lumrah,” lanjut Ari.

Dengan bekal teori di kelas, mahasiswa kemudian membuat kalimat singkat dalam bahasa Perancis, menyesuaikan dengan tuntutan aksi.

“Misalnya, Je manifeste pour la suprématie civile (Saya berdemonstrasi demi supremasi sipil),” kata Ari mencontohkan.

Mereka datang tanpa paksaan, tanpa embel-embel nilai akademik, hanya dengan pemahaman bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang patut diperjuangkan.

Bagi mereka, keterlibatan ini bukan sekadar partisipasi politik, tetapi juga pengalaman belajar yang nyata. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved