Para Ahli Hukum Soroti Kejanggalan Vonis Sugiharto pada Perkara Tipikor Mandala Krida

Eksaminasi digelar pada Sabtu (15/3/2025) malam di salah satu hotel di Kota Yogyakarta, dengan menghadirkan sejumlah ahli hukum.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
Dok.Istimewa
VONIS - Para Ahli Hukum Soroti Kejanggalan Vonis Sugiharto pada Perkara Tipikor Mandala Krida, Sabtu (16/3/2025) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Fakultas Hukum (FH) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang bekerjasama dengan kantor hukum Firmly Law Firm, Yogyakarta baru saja menggelar Eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 12/Pid.SusTPK/2022/PN Yyk atas nama Sugiharto (Konsultan Perencana) dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Kawasan Stadion Mandala Krida, Yogyakarta.

Eksaminasi digelar pada Sabtu (15/3/2025) malam di salah satu hotel di Kota Yogyakarta, dengan menghadirkan sejumlah ahli hukum.

Para eksaminator dari kalangan akademisi yakni empat ahli hukum pidana yakni Prof. Hanafi Amrani, Prof Dr Rena Yulia, Dr Beniharmoni Harefa, dan Dr Aditya Wiguna Sanjaya, kemudian satu Ahli Pengadaan yakni Dr Ir Nandang Sutisna, lalu Dr Mahrus Ali, sebagai moderator.

Eksaminasi putusan ini bertujuan untuk menguji, menilai, dan mengevaluasi kualitas serta akurasi suatu putusan pengadilan berdasarkan aspek hukum (asas, teori dan norma hukum), fakta, dan argumentasi hakim.

Ada beberapa isu hukum yang menjadi sorotan dalam eksaminasi ini antara lain tentang Penyebutan Merk “Wins atau yang sama”.

"Putusan hakim dalam perkara ini mengandung kekhilafan yang nyata, terutama dalam menilai penyebutan spesifikasi "WINS atau yang sama," kata Dr Beniharmoni, kepada awak media.

Dia mengatakan regulasi pengadaan barang/jasa justru memperbolehkan penyebutan merek tertentu selama ada alternatif, sehingga tidak dapat dianggap mengarahkan penyedia tertentu. 

Selain itu, unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor harus merujuk pada aturan yang jelas dalam undang-undang. 

Dalam kasus ini, dasar hukum yang digunakan adalah Perpres, yang bukan norma hukum pemidanaan.

"Kesalahan ini menunjukkan kekeliruan jaksa dan hakim dalam menafsirkan delik korupsi dengan mengkriminalisasi pelanggaran administratif. Hakim juga mengabaikan fakta bahwa frasa "atau yang sama" dalam spesifikasi teknis tidak membatasi persaingan usaha," ungkapnya.

Putusan hakim dalam perkara ini menurutnya juga menunjukkan kekeliruan mendasar dalam menafsirkan kewajiban Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) terkait penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). 

Berdasarkan prinsip dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, PPK bertanggung jawab untuk menetapkan spesifikasi teknis dan HPS, namun tidak diwajibkan untuk menyusun sendiri dokumen tersebut. 

Penyusunan HPS dalam proyek konstruksi umumnya dilakukan oleh tim teknis atau konsultan perencana yang memiliki kompetensi profesional, bukan oleh PPK secara langsung. 

Secara normatif, tidak terdapat larangan bagi pihak ketiga, seperti konsultan perencana, untuk menyusun draf HPS. 

Justru, dalam ketentuan yang berlaku, metode penyusunan HPS dapat mengacu pada perkiraan biaya yang dihitung oleh konsultan perencana (Engineer’s Estimate/EE) atau Rencana Anggaran Biaya (RAB), dan tidak harus selalu merujuk pada survei harga pasar. 

"Oleh karena itu, pandangan hakim yang menyatakan bahwa HPS harus disusun sendiri oleh PPK dan hanya berbasis harga
pasar merupakan kekeliruan yang bertentangan dengan prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah," ujarnya.

Hak ketiga tentang kerugian negara, yang mana menurut Beni, putusan hakim dalam perkara ini menunjukkan kekhilafan dalam
menentukan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara. 

"Menurutnya konsultan perencana tidak berperan dalam pelaksanaan kontrak konstruksi dan tidak memperoleh keuntungan dari proyek tersebut, sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban," ungkapnya.

Dalam kata lain para eksaminator menilai hakim keliru menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa memperkaya pihak lain tanpa menunjukkan benang merah dengan kerugian negara senilai Rp31,7 miliar.

Poin keempat tentang delik penyertaan yang dianggap sebagai Persekongkolan Tender.

Menurut Beni, putusan hakim dalam perkara ini keliru menilai unsur "persekongkolan" dan "penyertaan" dalam tindak pidana korupsi.

Dia menilai analisis Penuntut Umum dan Hakim didasarkan pada asumsi, bukan fakta objektif. 

"Sugiharto sebagai konsultan perencana tidak dapat dikategorikan sebagai medepleger hanya karena mencantumkan spesifikasi teknis, sehingga putusan hakim keliru dan perlu dikoreksi," ungkapnya.

Dalam perkara ini Hakim PN Tipikor Yogyakarta menjatuhkan vonis terhadap Sugiharto pidana penjara 8 tahun serta denda Rp400 juta. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved