Human Interest Story

Cerita Mbah Khasanudin, 15 Tahun Lebih Racik Bubur Lodeh di Masjid Sabiilurrosyaad Kauman Bantul

Mbah Khasanudin sudah lebih dari 15 tahun menjadi salah satu juru masak bubur lodeh setiap momen bulan suci Ramadan.

TRIBUNJOGJA.COM/ Neti Istimewa Rukmana
MBAH KHASANUDIN - Juru masak bubur lodeh Masjid Sabiilurrosyaad Kauman, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, Khasanudin, sedang membuat bubur, Minggu (9/3/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Tradisi bubur lodeh di Hu Kauman, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, sudah tidak asing lagi di telinga sejumlah masyarakat. 

Tradisi tersebut telah dilakukan sejak beberapa puluh tahun yang lalu.

Di mana terdapat orang-orang tertentu yang difokuskan sebagai tim pokok untuk memasak bubur lodeh setiap bulan suci Ramadan.

Seperti halnya Khasanudin, warga setempat.

Di mana, lebih dari 15 tahun ia menjadi salah satu juru masak bubur lodeh setiap momen bulan suci puasa Ramadan.

"Iya saya sudah lebih 15 tahunan masak bubur di sini (Masjid Sabiilurrosyaad Kauman)," katanya kepada Tribunjogja.com, di Masjid Sabiilurrosyaad Kauman, Minggu (9/3/2025).

Ia pun mengaku bahwa belum pernah berjualan bubur serupa dengan yang disajikan di Masjid Sabiilurrosyaad Kauman dalam setiap momen Ramadan.

Akan tetapi, dikarenakan itu sudah menjadi tradisi turun temurun, sehingga Khasanudin merasa senang untuk terlibat dan meneruskan tradisi tersebut.

"Jadi, ya setiap hari selama Ramadan pasti saya di sini. Ngaduk bubur. Nanti warga sini yang meracik sayur lodeh dan menyajikan kepada tamu," ujar dia.

Mbah Khasanudin yang berusia 74 tahun itu turut bercerita dalam meracik bubur tersebut tidak membutuhkan bahan-bahan atau resep tertentu. 

Seluruh bahan yang digunakan, disebut mudah didapatkan di pasar.

Adapun bahan yang digunkan berupa beras, santan kelapa, daun salam dan garam.

"Enggak ada resep tertentu. Bahannya di pasar banyak didapatkan," tuturnya.

Setiap harinya, ia mampu mengolah empat kilogram beras untuk menjadi bubur.

Dari empat kilogram beras itu akan menghasilkan sekitar 100 porsi bubur.

Baca juga: Hidangan Tradisional Hiasi Daftar Menu Takjil Masjid Gedhe Kauman, Ada Gulai Kambing dan Brongkos

Akan tetapi, setiap hari Jumat, jumlah bubur yang disajikan bertambah lebih banyak. Jumlahnya pun bisa mencapai 500 porsi bubur yang disajikan. 

Pasalnya, setiap hari Jumat ada banyak orang yang datang ke Masjid Sabiilurrosyaad Kauman untuk ikut ibadah dan buka bersama.

"Tapi, porsi itu ya setiap hari habis. Berapapun yang disajikan pasti habis," ucap dia.

Sedangkan, untuk sayur lodeh dan perlengkap lauk lainnya biasanya diracik oleh ibu-ibu atau warga setempat.

"Jadi, saya cuma nanganin bubur saja. Dan itu enggak pernah saya cicipin karena puasa, tapi rasanya selalu pas," ujarnya.

Sekretaris Takmir Masjid Sabiilurrosyaad Kauman, Haryadi, berujar bahwa penyajian bubur lodeh sudah ada sejak zaman Wali Songo.

Lalu, yang terlibat untuk masak bubur lodeh tersebut dibagi atas tim pokok dan tim non pokok.

"Yang pokok itu adalah turun temurun. Jadi, kalua mereka ada anak, anak itu yang akan mewarisi untuk menjadi tim pokok memasak bubur lodeh selama Ramadan," jelasnya.

Untuk tim pokok hanya dilakukan oleh satu keluarga tertentu, yang di dalamnya terdapat Mbah Khasanudin

Sedangkan, untuk tim non pokok biasa dilakukan oleh seluruh masyarakat setempat yang dalam keadaan senggang.

"Jadi istri saya pun, kalau lagi selo atau tidak kerja ya pasti membantu. Tapi memang harus ada yang dipokokkan. Kalau tidak begitu ya nanti kalau pas repot semua, enggak jadi jalan tradisi ini," ucap dia.

Adapun sumber bahan atau uang modal yang dipergunakan berasal dari donatur. Di

mana, ada yang memberikan uang hingga bahan baku berupa beras dan sebagainya untuk diolah menjadi bubur lodeh.

"Ada juga warga yang merasa, ada bahan apa yang kurang nanti dibelikan. Jadi bahannya dari warga sendiri. Dan kami enggak pernah mencatat siapa saya yang memberi atau targetnya berapa, karena itu pasti selalu ada," tutur Haryadi.

Nilai dan Makna Bubur Lodeh

Haryadi turut menyampaikan bahwa tradisi yang dijalankan itu memiliki nilai atau makna mendalam terkait ajaran agama Islam.

"Ini merupakan suatu adat tradisi yang kami yakini. Di samping sudah terbiasa dengan lidah kita dari mbah-mbah dulu, kami juga ingin menyampaikan apa yang sudah menjadi pesan nilai dari takjil bubur itu," paparnya.

Menurutnya, takjil bubur berasal dari kata 'bibirin' yang berarti hal yang bagus dan memiliki makna bahwa masyarakat yang datang ke masjid itu untuk mendapapatkan hal baik.

Kemudian, 'beber' memiliki makna untuk memberikan penjelasan tentang agama Islam melalui pengajian.

Lalu, terdapat kata 'babar' yang bermaksud bahwa bisa berlaku untuk semua kalangan yakni muda, tua, pejabat, hingga orang biasa.

"Lalu, bubur memiliki maksud bahwa tekstur yang lembut menjadi simbol penyampaian ajaran agama Islam harus dengan lemah lembur, tidak dengan kekerasan, dan mudah dicerna," tandasnya.(*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved