Hamemayu Hayuning Bawana: Daerah Istimewa Yogyakarta dan Tanggung Jawab Menjaga Alam

Falsafah ini telah menjadi panduan bagi masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. 

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Antonius Harya, Staf Ahli DPRD Kabupaten Sleman, Kader Gerindra Masa Depan XV, dan Lulusan Magister Filsafat UGM DIY 

Oleh: Antonius Harya 

TRIBUNJOGJA.COM - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),  bukan sekadar provinsi. Ia adalah perwujudan filosofi yang hidup, salah satunya adalah Hamemayu Hayuning Bawana, yang berarti menjaga dan memperindah dunia. 

Falsafah ini telah menjadi panduan bagi masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. 

Tidak hanya sebagai tempat tinggal, alam adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. 

Oleh karena itu, tugas kita bukan sekadar memanfaatkan alam, tetapi juga menjaga, merawat, dan mengembalikannya ke keadaan semula jika telah rusak.

Filosofi ini sangat relevan dengan situasi yang dihadapi DIY saat ini. Gunung Merapi dan sungai-sungai yang mengalir dari lerengnya menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi berlebihan. 

Penambangan pasir yang tak terkendali telah mengikis tanah, merusak ekosistem, dan mengancam mata pencaharian masyarakat setempat. 

Sultan Hamengkubuwono X pun turun tangan. Dengan tegas, beliau menyampaikan titahnya yang disampaikan pada 12 September 2021: Gunung Bali Gunung.

Gunung harus kembali menjadi gunung . Ini bukan sekadar seruan untuk rehabilitasi lingkungan, tetapi juga sebuah perintah moral agar manusia kembali menyadari perannya sebagai penjaga alam. 

Pernyataan Sultan HB X ini tidak hanya relevan secara lokal, tetapi juga bisa menjadi contoh bagi bangsa Indonesia dalam menjaga alamnya.

Bentang Alam Filosofis dari Merapi hingga Pesisir Selatan

DIY bukan hanya tentang Gunung Merapi. Wilayah ini memiliki bentang alam yang kaya, mulai dari puncak Merapi di utara, perbukitan Menoreh di barat, pegunungan karst Gunungkidul di timur, hingga pesisir selatan yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. 

Sungai-sungai yang mengalir dari gunung ke laut, seperti Kali Progo, Opak, dan Oya, turut membentuk lanskap sekaligus menyimpan nilai filosofis dalam kehidupan masyarakat.

Gunung Merapi, sebagai titik tertinggi di DIY, bukan sekadar gunung berapi aktif, tetapi juga simbol keseimbangan kosmis. 

Ia memberikan kesuburan bagi tanah di sekitarnya, mengalirkan air ke sawah dan ladang, serta menjadi pengingat akan siklus alam yang terus berjalan. 

Dalam filosofi Jawa, Merapi berperan sebagai penjaga harmoni antara manusia dan semesta, mengajarkan bahwa kehidupan selalu berada dalam siklus penciptaan, pemeliharaan, dan pelepasan.

Di sisi barat, Perbukitan Menoreh membentang dengan hijau permai. Lembah-lembahnya menjadi tempat bagi peradaban yang berakar kuat, seperti Kulon Progo yang kaya akan budaya agraris. 

Bukit-bukit ini tidak hanya menjadi sumber mata air dan lahan pertanian, tetapi juga menyimpan jejak sejarah perjuangan dan spiritualitas.

Ke arah timur, Pegunungan Karst Gunungkidul menghadirkan lanskap unik dengan gua-gua yang menyimpan misteri masa lalu. 

Air yang mengalir di bawah tanah menciptakan ekosistem yang rapuh namun menakjubkan, mengingatkan bahwa kehidupan tidak selalu tampak di permukaan. 

Filosofi kehidupan di sini adalah tentang ketahanan dan adaptasi—bagaimana masyarakat mampu bertahan di tengah keterbatasan sumber daya air dan tanah yang tandus.

Sementara itu, di selatan, pesisir DIY adalah titik pertemuan terakhir dari aliran sungai-sungai yang bermula dari pegunungan. 

Ombak besar Samudra Hindia melambangkan dinamika kehidupan—kadang tenang, kadang penuh gejolak. Masyarakat pesisir hidup dengan menghormati laut, memahami bahwa kekuatan alam bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk dijalani dengan keseimbangan dan kebijaksanaan.

Gunung, bukit, sungai, dan laut di DIY bukan sekadar lanskap geografis, tetapi juga cerminan kehidupan.

Keseimbangan antara daratan dan perairan, antara eksploitasi dan konservasi, adalah pesan yang terus diajarkan oleh alam. 

Sebagaimana Sultan HB X pernah mengingatkan, menjaga alam bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan. 

Bentang alam ini bukan sekadar warisan, tetapi juga pelajaran tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan lingkungan secara harmonis.

Kesadaran Ekologis

Dalam kearifan lokal Jawa, alam memiliki keseimbangan yang harus dijaga. Gunung Merapi, misalnya, bukan hanya tumpukan tanah dan batu, tetapi juga bagian dari ekosistem yang memengaruhi kehidupan sekitarnya. 

Merusak gunung berarti mengganggu keseimbangan alam, yang dapat membawa dampak negatif bagi manusia dan lingkungan.

Ketika manusia mengeksploitasi alam tanpa batas, dampaknya adalah bencana seperti longsor, banjir, dan kekeringan. 

Kerusakan lingkungan bukan hanya fenomena alam biasa, tetapi juga akibat dari ketidakseimbangan yang diciptakan manusia.

Sultan HB X dalam acara penanaman pohon di Kaliurang, 20 Januari 2025, Dengan menanam 100 pohon langka, beliau mengingatkan bahwa merawat alam adalah tanggung jawab moral dan sosial. 

Semua agama mengajarkan pentingnya menjaga alam sebagai amanah yang diberikan kepada manusia. Jika pohon ditebang, harus ada usaha menanam kembali. Jika tanah dieksploitasi, harus ada langkah pemulihan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Gerakan lintas iman juga mendukung kesadaran ini. Para pemimpin organisasi kepemudaan dari berbagai agama sepakat bahwa menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama. 

Ketua Umum Pemuda Katolik, Ketua Umum GAMKI, Ketua Umum GP Ansor, dan banyak tokoh lainnya turut serta dalam aksi penanaman pohon sebagai simbol persatuan dalam menjaga bumi.

Air untuk Masa Depan Peradaban menjadi tema utama dalam gerakan ini. Air bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sumber kehidupan bagi generasi mendatang. Ketika sumber air di gunung terjaga, maka kehidupan di daerah yang lebih rendah pun tetap lestari.

Ekofeminisme: Perjuangan Menjaga Ibu Pertiwi

Dalam banyak masyarakat, perempuan sering kali menjadi penjaga utama sumber daya alam. Mereka bertanggung jawab dalam mengurus air, mengolah hasil panen, dan menjaga kelangsungan hidup keluarga. Namun, mereka juga menjadi kelompok yang paling terdampak ketika lingkungan rusak.

Eksploitasi alam sering kali berjalan seiring dengan ketidakadilan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. 

Ketika sumber air mengering akibat penambangan pasir, perempuan harus berjalan lebih jauh untuk mencari air. 

Ketika lahan pertanian rusak, perempuan harus mencari cara baru untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Menjaga keseimbangan alam juga berarti membangun keadilan sosial. Dengan memulihkan lingkungan, kita membantu kelompok yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan. 

Memulihkan gunung dan sumber daya alam berarti menjaga kehidupan bagi banyak orang, termasuk perempuan yang selama ini menjadi pilar dalam pelestarian lingkungan.

Gunung Bali Gunung: Titah Kenegaraan untuk Masa Depan

Apa yang dilakukan oleh Sri Sultan HB X bukan hanya aksi lokal di DIY, tetapi juga bagian dari titah tentang masa depan bangsa. 

Jika kita ingin Indonesia tetap hijau dan subur, maka kita harus mulai dari sekarang, dengan menjaga gunung, sungai, dan hutan yang masih tersisa.

Titah Gunung Bali Gunung memiliki keterkaitan erat dengan visi Presiden Prabowo Subianto, khususnya sebagaimana yang diungkapkan dalam pidato pertamanya setelah dilantik. 

Dalam pidato tersebut, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya membangun Indonesia secara berkelanjutan, memastikan kesejahteraan rakyat, serta menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari pembangunan jangka panjang.

Sejak lama, Prabowo telah menekankan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana, dengan mengurangi eksploitasi berlebihan yang dapat merusak ekosistem dan keseimbangan alam. 

Prinsip ini menjadi dasar bagi berbagai kebijakan yang mendorong pembangunan hijau, di mana ekonomi dan lingkungan dapat berjalan selaras tanpa saling merugikan.

Dalam konteks ini, gerakan Gunung Bali Gunung selaras dengan kebijakan nasional dalam menjaga kelestarian alam. 

Gerakan ini menekankan perlindungan terhadap hutan, gunung, dan sumber daya air, serta mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga keseimbangan ekologi.

Gunung Bali Gunung tidak hanya menjadi simbol konservasi, tetapi juga bagian dari komitmen besar pemerintah dalam menciptakan Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Sebagai bangsa, kita harus sepakat bahwa lingkungan bukan hanya milik generasi sekarang, tetapi juga milik anak cucu kita nanti. Jika kita merusaknya sekarang, maka mereka yang akan menanggung akibatnya. Jika kita menjaganya, maka mereka akan menikmati manfaatnya.

Mari Jaga Alam, Mbuh Piye Carane

Menjaga alam tidak harus selalu dengan cara besar dan sulit. Setiap orang bisa berkontribusi dengan cara yang sederhana:

Menjaga alam bukanlah tugas besar yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau organisasi lingkungan. Setiap individu memiliki peran penting dalam melestarikan bumi, dan hal itu bisa dimulai dari diri sendiri, bahkan dari rumah.

Langkah kecil seperti menghemat air saat mencuci atau mandi dapat memberikan dampak besar dalam jangka panjang. Mematikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan juga membantu mengurangi konsumsi energi dan emisi karbon. 

Selain itu, memilah sampah dengan benar serta mendaur ulang barang-barang yang masih bisa digunakan akan mengurangi jumlah limbah yang mencemari lingkungan.

Kebiasaan sederhana seperti membawa tas belanja sendiri, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan memilih produk ramah lingkungan juga dapat membantu menjaga keseimbangan alam. 

Menanam pohon atau merawat tanaman di sekitar rumah tidak hanya memperindah lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas udara.

Lebih dari itu, menyebarkan kesadaran kepada keluarga dan teman tentang pentingnya menjaga alam dapat menciptakan dampak yang lebih luas. 

Jika setiap orang melakukan bagian kecilnya, bersama-sama kita dapat menjaga bumi tetap lestari untuk generasi mendatang. Alam adalah tanggung jawab kita semua—mulailah dari diri sendiri dan dari rumah.

Karena Gunung Bali Gunung bukan hanya tugas pemerintah atau Sultan, tetapi tugas kebangsaan. Jika setiap orang berkontribusi, sekecil apa pun, maka gunung akan kembali menjadi gunung, air akan kembali mengalir, dan keseimbangan akan kembali terjaga.

DIY telah memberi contoh. Kini giliran kita semua. Mari jaga alam, mbuh piye carane. (*)

Antonius Harya, Staf Ahli DPRD Kabupaten Sleman, Kader Gerindra Masa Depan XV, dan Lulusan Magister Filsafat UGM DIY

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved