Pakar UGM Sebut Wacana Sekolah Rakyat Belum Mendesak, Banyak Sekolah Konvensional Butuh Perhatian

Sekolah rakyat program belum terlalu mendesak karena melihat kenyataan bahwa masih banyak sekolah konvensional yang membutuhkan perhatian.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Tribun Jogja/ Suluh Pamungkas
Ilustrasi pendidikan 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Kementerian Sosial merencanakan untuk membangun Sekolah Rakyat sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Adanya program ini merupakan lanjutan dari arahan Presiden Prabowo Subianto pada rapat koordinasi pemberdayaan masyarakat di Istana Kepresidenan Bogor pada 3 Januari 2025.

Sasaran dari program ini adalah anak-anak dari kalangan masyarakat miskin ekstrim agar mendapatkan pendidikan yang layak.

Konsep dari sekolah rakyat adalah asrama atau boarding school di mana para siswa nantinya tidak hanya mendapat pendidikan tetapi juga akan mendapat asupan gizi yang layak dan mencukupi.

Menteri Sosial menargetkan untuk membangun proyek percontohan atau pilot project Sekolah Rakyat di Jakarta dan sekitarnya.

Namun, hingga saat ini Kementerian Sosial belum bisa memastikan kapan proyek ini akan efektif mulai dilaksanakan meskipun tim sudah dibentuk.

Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Dr. Subarsono, mengatakan program sekolah rakyat di bawah Kementerian Sosial dinilai kurang tepat karena seharusnya bidang ini ditangani oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.

Tidak hanya itu, menurutnya program belum terlalu mendesak dilaksanakan, karena melihat kenyataan bahwa masih banyak sekolah konvensional yang membutuhkan perhatian pemerintah.

Mulai dari bangunan sekolah yang rusak hingga gaji para guru terutama guru honorer yang masih memprihatinkan.

“Nah, saya kira ini menjadi problematik berada di bawah Kementerian Sosial karena tupoksinya bukan mengurusi masalah pendidikan. Jadi, ini dipertanyakan mengenai domain dari kebijakan itu. Kalau di bawah Kementerian Sosial saya pikir itu tidak tepat,” katanya, Rabu (15/1/2025).

Apabila menilik ke belakang, kata Subarsono, Sekolah Rakyat memang memiliki sejarah di masa penjajahan Belanda.

Dengan adanya program Sekolah Rakyat kemungkinan akan terbentuk stigma negatif di kalangan masyarakat mengenai penamaannya. Sejarahnya memang sekolah rakyat sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda yang kemudian diubah menjadi sekolah dasar.

Adanya istilah tersebut dikhawatirkan adanya diskriminasi karena sudah ada sekolah dasar.

“Sebaiknya untuk penamaannya Sekolah Unggulan saja jangan Sekolah Rakyat sehingga tidak menciptakan dualisme dengan adanya terminologi baru yang muncul,” ungkapnya. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved