Tekan Kasus Kekerasan Berbasis Gender, DPD RI Dorong Realisasi Satgas Anti-Kekerasan di Kota Yogya

Dorongan tersebut dilatarbelakangi oleh masih maraknya kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di seluruh wilayah DIY

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
dok.istimewa
Suasana forum Rembug Warga Jogja di Rooftop Pasar Sentul, Kota Yogya, beberapa waktu lalu. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Anggota DPD RI Dapil DIY, RA Yashinta Sekarwangi Mega, mendorong terbentuknya Satgas Anti-Kekerasan di Kota Yogya.

Dorongan tersebut dilatarbelakangi oleh masih maraknya kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di seluruh wilayah DIY.

Di sela agenda 'Rembug Warga Jogja', di Rooftop Pasar Sentul, Kota Yogya, belum lama ini, Yashinta menegaskan, polemik kekerasan gender pada perempuan selalu menjadi prioritasnya.

Ia pun sudah menginsiasi sebuah program untuk mengentaskan permasalahan tersebut, yang diberi nama ‘Ngayomi Ngagem Ati’. 

"Ngayomi ngagem ati merupakan program yang mendorong optimalisasi pusat-pusat krisis dan tempat perlindungan untuk perempuan dan anak korban kekerasan," katanya.

Ia benar-benar berharap, dalam waktu dekat, nol kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan bisa terwujud di Kota Yogya.

Menurutnya, kalangan senator bakal berkolaborasi dengan Pemkot Yogya, yang mulai Februari 2025 nanti bakal dipimpin oleh Wali Kota terpilih Hasto Wardoyo.

"Saya siap berkolaborasi dengan Pak Hasto dan pemangku kepentingan lainnya, agar Satgas Anti-Kekerasan bisa terbentuk di Kota Yogya," ucapnya.

Baca juga: Hasto Wardoyo Canangkan Exit Strategy ala Pandemi untuk Atasi Darurat Sampah di Kota Yogya

"Harapannya, satgas ini bisa menjadi agen sosialisasi mengenai nilai-nilai anti-kekerasan itu, di seluruh kelurahan di Kota Yogyakarta," urai Yashinta.

Hasto Wardoyo, yang jadi pembicara dalam agenda itu, mengaku sepakat, bahwa kekerasan berbasis gender di Kota Yogya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. 

Politisi berlatarbelakang dokter spesialis kandungan tersebut mengatakan, pencegahan dapat dilakukan dengan pendidikan seksual yang diajarkan dari SD sampai SMA.

"Pendidikan seksual itu bukan berarti para siswa kita diajarkan untuk melakukan hubungan seksual pra-nikah dan dilanjutkan dengan bagi-bagi kondom gratis. Bukan itu," tegasnya.

"Pendidikan seksual merupakan edukasi yang bertujuan agar para siswa lebih paham dengan organ reproduksinya, sehingga menjauhkan diri dari tindakan asusila," tambah Hasto.

Pembicara lainnya, Kalis Mardiasih, selaku aktivis pemberdayaan perempuan, menyebut, kekerasan kepada perempuan tidak hanya yang melukai raga jasmani, namun juga bersifat verbal dan psikis.

Sehingga, ditegaskannya, edukasi anti-kekerasan berbasis gender harus dilakukan sejak usia dini, atau sejak masa anak-anak.

"Jangan sampai kasus pemerkosaan seperti yang terjadi di Purworejo baru-baru ini, terus berulang ke depannya, apalagi di Kota Yogyakarta," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved