Membedah Persampahan di Kota Yogya, Keterbatasan Lahan dan Perlunya Perubahan Pola Pikir Publik

Berbagai upaya yang sudah ditempuh Pemkot Yogya pun tidak kunjung memuaskan warga masyarakat, yang terus mendesak kata tuntas.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
Suasana FGD Strategi Komunikasi Publik tentang Pengelolaan Sampah melalui Media Massa/Medsos, di Balai Kota Yogya, Kamis (21/11/2024). 

"Ini pekerjaan kita bersama, bahwa ternyata kalau perlakuan kita terhadap sampah tidak berubah, ya tidak akan selesai itu masalah," tambah Haryoko.

Dijelaskan, permasalahan sampah di Kota Yogya bermula dari penutupan TPA Piyungan, di mana gonjang-ganjing terasa sejak kisaran 2023.

Pukulan telak lantas menghantam ketika muncul keputusan pengolahan sampah di DIY harus dilakukan secara desentralsasi, yang akhirnya memicu konflik persampahan, terutama di Kota Yogya.

"Kondisi kita belum siap 100 persen, karena tidak punya lahan, hampir seluruhnya permukiman. Apalagi, menurut UU, tempat pengolahan sampah minimal 500 meter dari permukiman," jelasnya.

Padahal, potensi sampah harian yang diproduksi di Kota Yogya dan harus diolah mencapai 300 ton, baik jenis organik maupun anorganik.

Dari jumlah tersebut, pihaknya menyiapkan pengolahan di hilir sekitar 200 ton, kemudian yang 100 ton didorong untuk diolah di hulu atau sumbernya.

"Sehingga sosialisasi dan edukasi terus dilakukan terhadap sumber-sumber penghasil sampah. Kita cegah jangan sampai 100 ton masuk ke area pengolahan," terangnya.

Sementara di hilir, Pemkot Yogya menyiapkan unit-unit pengolahan sampah di tiga titik sekaligus, yang berlokasi di Karangmiri, Nitikan dan Kranon.

Ketiganya menggunakan mesin RDF (Refused Derived Fuel), supaya sampah yang diolah tidak sekadar habis, tapi juga menghasilkan nilai ekonomi.

"Kami upayakan ketiga lokasi ini bisa mengolah di atas 100 ton per hari. Nanti, kami juga akan maksimalkan lahan pinjaman di Piyungan," cetusnya.

Sementara itu, terkait retribusi pembuangan sampah di depo yang belakangan ramai dibicarakan, Haryoko menegaskan, masih sebatas kajian.

Menurutnya, pemerintah ingin menghadirkan rasa keadilan, di mana warga membayar retribusi berdasar volume sampah yang dibuangnya.

"Kalau sampah yang dibuang sedikit, ya bayarnya murah. Tapi, kalau buangnya banyak, apalagi tidak dipilah, ya mahal," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved