PSPK UGM Nilai Kebijakan Lumbung Pangan Tidak Pro Petani

Ketahanan pangan merupakan tanggung jawab negara untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Hari Susmayanti
Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi pengembangan food estate atau lumbung pangan nasional dalam kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Lokasi yang pertama ditinjau untuk menjadi lumbung pangan baru di luar Pulau Jawa tersebut terletak di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Ketahanan pangan merupakan tanggung jawab negara untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 

Namun, hingga saat ini para akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai wacana ilmiah dan politik mengenai ketahanan pangan hanya berfokus pada pengukuran kuantitatif produksi dan distribusi pangan, tetapi mengabaikan aspek-aspek lain seperti keberlanjutan ekologi dan hak-hak masyarakat adat atas praktik pertanian tradisional mereka. 

Memasuki akhir masa pemerintahan Joko Widodo, berbagai program pembangunan strategis nasional di bidang pertanian, seperti Food Estate atau lumbung pangan, mulai diragukan efektivitasnya. 

Padahal Food Estate dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan produktivitas pertanian. Data menunjukkan, pembukaan lahan secara masif di Sumatera Utara pada akhirnya terbengkalai. 

Sekitar 80 persen Lahan yang seharusnya digunakan untuk komoditas strategis seperti kentang dan bawang merah kini dibiarkan terlantar akibat minimnya dukungan anggaran dan perencanaan teknis yang kurang matang. 

Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Tengah, menurut laporan Greenpeace di tahun 2022, program Food Estate meningkatkan deforestasi hutan gambut beserta keanekaragaman di dalamnya dan memicu konflik kepentingan.

Ketergantungan pada proyek besar tanpa mempertimbangkan kebutuhan lokal dan dampak sosial lingkungan menjadi isu yang layak untuk dibahas dan dicarikan solusi.

Keresahan petani lokal juga bertambah dengan program makan siang gratis yang direncanakan oleh pemerintahan baru. 

Program ini berpotensi mengabaikan peran pangan lokal dan petani lokal serta memperkuat dominasi pangan impor. 

Selain itu, pemanfaatan militer atau angkatan bersenjata dalam pengelolaan proyek pangan dan pertanian dikhawatirkan tidak berpihak pada kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengangkat tema ‘Merapatkan Barisan Petani Lintas Generasi, Konsolidasi untuk Pertanian Lestari’ dalam rangka memperingati Hari Tani 2024.

Kegiatan ini ditujukan untuk menjajaki kolaborasi lintas kelompok dan generasi untuk memperkaya perbendaharaan praktik dan wawasan seputar pertanian demi kehidupan yang lestari ini dilaksanakan secara luring, Senin (7/10/2024) bertempat di PSPK UGM.

“Kalau kita bandingkan dengan negara lain, bahkan dengan negara kecil seperti Vietnam, kita sama sekali belum menyelesaikan persoalan petani dan pertanian untuk menuju kedaulatan Indonesia,” ujar Prof. Bambang Hudayana, Kepala PSPK UGM, saat membuka kegiatan FGD. 

Baca juga: Kisah Peraih Apresiasi Satu Indonesia Award Asal Gunungkidul: Lidah Buaya Harapan Baru di Jeruk Legi

Menurutnya, alih fungsi lahan pertanian, penurunan jumlah regenerasi petani muda, harga panen yang fluktuatif, serta perubahan iklim menyebabkan nasib petani semakin tergerus. 

Bahkan menurut Bambang, petani kini harus keluar dari sektor pertanian tetapi tidak bisa menjadi pekerja yang mandiri dan sejahtera padahal pertanian adalah soko guru bagi masyarakat desa. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved