Guru Besar dan Pakar Hukum UII Bedah Buku Hasil Eksaminasi Kasus Tipikor Mardani Maming

Mereka merupakan ahli hukum pidana,  perdata, kriminologi, hukum administrasi negara, hingga viktimologi.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
Dok. Istimewa
Para peserta bedah buku eksaminasi perkara Mardani Maming menyimak pembicara dari pakar hukum UII, Sabtu (5/10/2024) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar bedah buku eksaminasi berjudul Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam mengadili perkara Mardani H Maming, Sabtu (5/10/2024).

Buku tersebut merupakan hasil eksaminasi yang dilakukan para akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) atas kasus suap izin usaha pertambangan Tanah Bumbu Kalimantan Selatan yang menjerat Mardani Maming. 

Diketahui, Mardani Maming merupakan mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan dipidana dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta karena telah menerima hadiah atau gratifikasi dari seorang pengusaha pertambangan, yakni mantan Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) almarhum Henry Soetio dengan total Rp118 miliar. 

Para tim eksaminator di antaranya Prof Dr Ridwan Khairandy, Dr Mudzakkir, Prof Hanafi Amrani, Prof Dr Ridwan, Dr Eva Achjani Zulfa, Dr Muhammad Arif Setiawan, Dr Nurjihad, Dr Mahrus Ali, Karina Dwi Nugrahati Putri, serta Ratna Hartanto.

Mereka merupakan ahli hukum pidana,  perdata, kriminologi, hukum administrasi negara, hingga viktimologi.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan & Alumni UII, Rohidin, mengatakan buku ini menarik karena secara ideal kesalahan seharusnya tidak terjadi pada hakim yang mestinya harus bersifat bijaksana. 

Hakim sebagai pengadil, kata dia harus memiliki kemampuan memutuskan perkara dengan tepat dan cepat dalam situasi dilematis. 

"Putusan itu juga harus berdasarkan pertimbangan kualitatif, bukan kuantitatif serta kemanusiaan dan kemaslahatan. Itu semua untuk kepentingan bersama atau semua pihak," katanya. 

Menurut Rohidin, hakim harus memberikan kesempatan kepada pihak yang berperkara secara seimbang, bukan semata-mata seimbang dan proporsional tapi adil dan juga berpihak pada kebenaran.

Baca juga: Pusham UII: Pembubaran Diskusi Publik adalah Pelanggaran HAM

Pembedah Buku, sekaligus Guru Besar FH UI, Topo Santoso, menjelaskan penerbitan buku itu merupakan usaha yang sangat penting bagi kalangan akademisi dalam mengkritisi putusan pengadilan.

Sebab seperti alasan peninjauan kembali (PK) selalu ada kemungkinan hakim khilaf sama seperti Kasasi yakni penerapan hukum yang keliru. 

Maka kekritisan dan upaya untuk eksaminasi dan catatan kritis harus diterima kalangan peradilan. 

"Dalam beberapa kasus jelas dalam putusan apakah banding, Kasasi atau PK ada putusan MA yang mengkoreksi putusan Kasasi atau putusan tingkat banding, artinya sangat bisa terjadi kemungkinan terjadi kekeliruan," ujarnya. 

Menurut Topo sudah seharusnya hakim tidak perlu khawatir dengan adanya sikap kritis dari kalangan akademisi yang justru membantu peradilan dalam melakukan putusan yang lebih adil.

Pihaknya berharap adanya buku ini menghadirkan introspeksi dari kalangan peradilan untuk melihat kalau ada kekeliruan itu dimana sehingga bisa dikoreksi, ketika perkara itu bergulir pihaknya berharap majelis hakim bisa menggunakan masukan masyarakat. 

"Itu untuk menjadi pertimbangan di luar dari upaya hukum terdakwa," katanya. 

Sementara Prof Romli Atmasasmita, mengatakan terdapat kekeliruan dan kekhilafan majelis hakim saat mengadili terdakwa Mardani Maming.

"Pertama ya, dari pendapat para ahli tadi satu, jelas ada kekeliruan, ada kekhilafan," ujarnya, kepada awak media.

Sedangkan secara pribadi Prof Romli menyimpulkan terdapat delapan kekeliruan yang ia catat.

Ia menilai kasus Mardani Maming sudah keluar dari ranah hukum melainkan ada kepentingan politis.

"Soal moral, kan, tidak boleh dzolim. Jadi saya berpikir, berpendapat silakan nanti sampai ke MA, saya katakan ini sudah di luar konteks hukum, karena memang dibuat seolah-olah ada hukum padahal tidak ada. Karena kalau hukum harus ada diterima saya memberi, yang memberi meninggal dunia," ujarnya.

Terduga pemberi suap tersebut berdasarkan laporan dari KPK yakni Henry Soetio selaku pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN)

"Sementara Kalau yang memberi meninggal dunia berarti tidak ada kasus. Karena susahnya membuktikan itu dia lari ke Pasal 12B kan supaya gampang, ini kan namanya tidak betul. Kalau yang benar, begitu lihat memang susah hentikan penyidikan, SP3," tegas Prof Romli.

Selain itu, sejumlah kesimpulan eksaminasi di antaranya dakwaan ataupun tuntutan terhadap terdakwa tampak terlalu dipaksakan karena fakta yang terungkap dalam persidangan tidak dilandasi bukti yang cukup bahwa terdakwa Mardani H Maming secara nyata penerimaan-penerimaan uang yang disangkakan kepada Terpidana ternyata adalah tagihan-tagihan perusahaan yang di dasari atas perjanjian kerjasama sebagaimana putusan pengadilan Niaga yang telah inkrach.

"Kemudian dakwaan yang dibangun adalah Pasal Suap, namun si pemberi suap tidak pernah diperiksa baik tingkat penyidikan sampai persidangan (karena meninggal)," terang dia.

Selanjutnya menurut para ahli hukum UII SK Bupati No. 296/2011 tidak melanggar pasal 93 UU Minerba.

Pembayaran PT ATU dan PT PCN kepada PT TSP dan PT PAR disebutkan semata-mata murni hubungan bisnis. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved