Pakar HI Sebut Serangan Iran ke Israel Bisa Picu Destabilisasi: Timur Tengah Hadapi ‘Cold Peace’

Menurut Ludiro, dinamika di Timur Tengah saat ini masih merupakan kelanjutan dari pola-pola geopolitik yang terbentuk pada era Perang Dingin.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM
Ibu Kota Israel, Tel Aviv digempur ratusan rudal dari Iran pada Selasa (1/10/2024) malam. 

Pada 18 September 2024 waktu Amerika, sebanyak 124 negara menuntut agar Israel segera mengakhiri keberadaannya yang melanggar hukum di wilayah Palestina yang diduduki.

Pada 27 September 2024 waktu Amerika, sejumlah negara, termasuk Indonesia melakukan aksi walk out saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York.

“Entah kebetulan atau gimana, apa yang terjadi pada Israel di PBB, seolah-olah Israel dialienasi, itu dibalas Israel di lapangan. Cuma kemudian saya kira, militer Israel sudah prediksi Iran akan membuat balasan,” terangnya.

Dia pun mengingatkan pada dunia tentang dampak perang, salah satunya harga minyak yang mungkin melambung.

Kohesivitas Rendah

Disinggung mengenai tingginya skala destabilisasi, kata Ludiro, negara-negara di Timur Tengah sebenarnya tidak memiliki relasi yang erat.

Kohesivitas antara satu negara dengan lainnya tidak terlalu tinggi. Sehingga, menurutnya, tidak banyak negara yang akan merespons perang Iran-Israel ini.

“Konteksnya adalah aksi bersama melawan Israel itu relatif rendah. Dengan konteks itu, upaya bersama melawan Israel juga kecil kemungkinan,” jelasnya.

Ludiro menambahkan, di situasi saat ini, memburuknya politik keamanan tidak serta merta disertai dengan memburuknya ekonomi.

Dia mencontohkan relasi antara Turkiye dan Israel yang memiliki relasi diplomatik, tapi Turkiye tetap tidak segan mengkritisi Israel sedemikian rupa.

“Situasi sekarang sangat berbeda dengan perang dingin yang clear cut. Pada waktu itu, Indonesia dekat dengan Amerika, dan menutup hubungan dengan China, tapi kalau sekarang, contohnya Australia dan Tiongkok. Australia mengkritisi Tiongkok perihal Hak Asasi Manusia (HAM), tapi relasi ekonomi keduanya tetap berjalan,” bebernya.

Itu juga terjadi dengan hubungan Indonesia dengan Amerika dan Tiongkok.

“Misalnya, Tiongkok lebih menguntungkan, maka pembangunan berjalan dengan Tiongkok, tapi politik keamanan tetap dekat dengan Amerika,” tukas dia. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved