Nyala Api Kotoran Sapi: Melihat dari Dekat Warga Cangkringan Sleman Hasilkan Energi, Kurangi Emisi

Warga Umbulharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta memanfaatkan biogas dari kotoran sapi untuk menghidupkan kompor

|
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Hari Susmayanti
Tribunjogja/Ahmad Syarifudin
Dewi Astuti warga Balong Wetan, Umbulharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman DI Yogyakarta sedang memasak menggunakan api biru yang bersumber dari biogas hasil pengolahan kotoran sapi. 

Warga Umbulharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta memanfaatkan biogas dari kotoran sapi untuk menghidupkan kompor. Praktik baik penggunaan biogas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ini patut jadi contoh, karena selain mengurangi emisi juga mampu menghemat pengeluaran gas elpiji hingga dua sampai tiga tabung 3 kilogram per bulan. 


Langit mendung menjelang waktu ashar, Naryo Sutrisno pulang dari kebun pada 7 Agustus 2024 lalu.

Warga Dusun Balong Wetan, Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta itu langsung menuju kandang di samping rumah untuk membersihkan letong atau kotoran sapi. 

Kotoran ternak yang dihasilkan setiap hari ini tidak dibuang, tapi dimanfaatkan menjadi biogas.

Caranya, kotoran sapi murni yang tidak tercampur sisa makanan disemprot atau dikocor dengan air, dimasukkan dalam saluran yang terhubung dengan biodigester, sebuah tempat kedap udara untuk menampung limbah kotoran ternak. 

Sebelum masuk biogester, kotoran sapi yang sudah bercampur air ditampung lebih dulu di instalasi bis beton kemudian diaduk-aduk. 

"Luas wadah penampungan ini dua meter persegi. Kedalamannya juga dua meter. Ini dicor semen, semakin dalam semakin bagus," kata Naryo, menunjukkan biodigester di pekarangan samping rumahnya. 

Biodigester berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pencernaan Anaerobik Digestion atau fermentasi ruang kedap udara.

Komponen bahan organik yang ditampung di wadah tertutup mengalami proses biokimia sehingga terbentuk biogas.

Gas alami ini menjadi sumber energi terbarukan yang diproduksi secara biologis. 

Biogas dari dalam biodigester itu kemudian disalurkan menggunakan pipa, langsung menuju kompor di dapur Naryo. 

"Kalau mau masak, tinggal buka aliran gas, kompor bisa menyala. Kalau apinya biru, tandanya gas penuh. Kalau api berwarna merah berarti gasnya sudah mau habis. Nanti kotoran sapi ditambahkan lagi ke penampungan, gas muncul lagi," ujar lelaki 66 tahun itu. 

Dahulu, sebelum diolah menjadi biogas, kotoran ternak warga Balong Wetan, Umbulharjo Yogyakarta ini hanya ditumpuk dan dibuang begitu saja sehingga berpotensi mencemari perairan dan berbau.

Tetapi pasca erupsi gunung Merapi, lebih  kurang sejak tahun 2011 silam, kotoran sapi telah diolah menjadi biogas dan dimanfaatkan untuk kebutuhan memasak setiap hari. 

Lebih Hemat 

Nyala Api Kotoran Sapi: Melihat dari Dekat Warga Cangkringan Sleman Hasilkan Energi, Kurangi Emisi1
Naryo Sutrisno sedang membersihkan kotoran sapi di kandang samping rumahnya di Balong Wetan Umbulharjo, Sleman. Kotoran ternak itu ditampung di biodigester untuk dijadikan biogas.

Suara pemantik api berbunyi. Kompor yang telah dibuka aliran gasnya menghasilkan nyala api berwarna biru.

Nyala apinya tak berbeda jauh dengan kompor elpiji. Padahal kompor yang dipakai Dewi Astuti, warga Balong Wetan, Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta itu berasal dari biogas hasil pengolahan kotoran sapi.

Penggunaan gas alami ini mampu menghemat pengeluaran, terutama ketergantungan membeli gas tabung elpiji tiga kilogram. 

"Kalau tidak pakai biogas, biasanya dalam satu bulan membutuhkan gas elpiji 3 kilogram 4 tabung. Sekarang, paling hanya beli satu tabung, buat jaga-jaga aja. Harga satu tabung elpiji di sini Rp 20 ribu sampai Rp 22 ribu. Ya, sebulan kira-kira bisa menghemat Rp 60 ribuan," kata Dewi. 

Sudah lebih dari satu dekade perempuan 42 tahun itu, bersama ayahnya, Naryo Sutrisno menggunakan biogas.

Menurut dia, memasak pakai biogas hampir sama dengan gas elpiji, tidak ada beda. Malah, justru pakai biogas memiliki beberapa keuntungan. Sebab, selain lebih menghemat pengeluaran juga lebih efektif dan cepat. 

"Karena keluar apinya besar. Jadi kalau buat masak cepat," katanya.

Dewi mengandalkan biogas untuk memasak segala macam kebutuhan. Mulai dari menggoreng, masak sayur hingga masak air. 

Praktik baik pemanfaatan biogas untuk memasak bagi warga Kalurahan Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta ini telah dilakukan sejak lama.

Bukan hanya di Padukuhan Balong Wetan, namun juga tersebar di sejumlah Padukuhan lainnya. 

Kepala Seksi Kesejahteraan (Ulu-ulu) Kalurahan Umbulharjo, Sugeng Sunarto mengungkapkan, pengolahan kotoran sapi menjadi biogas di wilayahnya telah dilakukan oleh warga di beberapa padukuhan.

Selain Balong Wetan, juga dilakukan sebagian warga di Gondang, Plosorejo, Karanggeneng dan Padukuhan Gambretan.

Warga memanfaatkan gas alami itu untuk kebutuhan memasak di dapur. Namun belakangan, seiring jumlah ternak berkurang dan intalasi rusak sebagian warga tidak melanjutkan kegiatan pengolahan ini. 

"Dulu banyak, sekarang sudah banyak yang tidak fungsi," katanya. 

Kendala 

Nyala Api Kotoran Sapi: Melihat dari Dekat Warga Cangkringan Sleman Hasilkan Energi, Kurangi Emisi2
Proses pengadukan kotoran sapi yang sudah tercampur dengan air sebelum dimasukkan ke biogester, untuk memproduksi biogas..

Pemanfaatan biogas untuk kebutuhan rumah tangga bukan bebas kendala. Ada beberapa masalah, terutama di level produksi.

Pertama, di biaya pembuatan intalasi yang relatif tinggi bagi masyarakat desa, disamping juga kurangnya bahan baku kotoran ternak yang setiap hari harus diolah.

Di sisi konsumsi, sebagian masyarakat kurang tertarik karena bagi warga yang ternaknya sudah dijual, prosedur penggunaan biogas tentu lebih rumit daripada tabung elpiji. 

Kendati demikian, Naryo Sutrisno meyakinkan bahwa pemanfaatan biogas jika intalasi sudah terpasang aman, sangat minim risiko.

Ia mencontohkan, dirinya telah menggunakan biogas kotoran sapi lebih dari satu dekade.

Selama itu pula, Ia mengaku jarang sekali menuai kendala. Jika prosedur produksi dipenuhi, meksipun hanya memiliki dua ekor sapi, nyatanya gas metana mengalir lancar setiap hari. 

"Lebih dari sepuluh tahun saya pakai biogas, instalasinya belum pernah ganti. Cuma pernah ganti kompor saja," kata dia. 

Baginya, penggunaan biogas memiliki banyak keuntungan. Selain menghemat pengeluaran tiap bulan untuk membeli gas elpiji, sisa kotoran sapi yang sudah terolah juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Pupuk tersebut bisa langsung dimanfaatkan dalam keadaan basah maupun kering. 

"Sisa kotoran itu saya pakai buat pupuk rumput, tanaman, ternyata tanamannya bagus juga," ucap dia. 

Biogas dari limbah organik adalah bioenergi yang potensinya memiliki peluang besar untuk dikembangkan di Indonesia.

Mengingat, Indonesia adalah negara agraris yang memiliki potensi biometana menjanjikan.

Agroindustri tersebar di beberapa wilayah negeri, sehingga limbah organik yang dihasilkan dapat diolah menjadi sumber energi alternatif. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total unit instalasi pemanfaatan biogas hingga 30 September 2022, di rumah tangga maupun komunal sejumlah 51.579 unit dengan total produksi biogas mencapai 28.779.474 juta m3.

Sedangkan produksi biogas industri non listrik 721.809 m3 dan produksi biogas industri listrik telah mencapai 2.966.439 m3. 

Kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca dari praktik baik di sektor peternakan ini, gaungnya tidak begitu terdengar, namun nyatanya dapat membantu upaya penyelamatan Bumi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Epiphana Kristiyani mengatakan pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat.

Sebab, tingginya feses sapi apabila tidak diolah maka dapat menyebabkan polusi udara karena mengandung gas metana (CH4) yang menghasilkan efek gas rumah kaca.

Jika dibuang sembarangan, hal ini bakal berdampak buruk, bukan hanya terhadap lingkungan sekitar melainkan juga bagi Bumi. 

"Kotoran sapi menghasilkan gas metan, gas metan jika diolah, artinya kan tidak dibuang percuma. Jika dibuang percuma menghasilkan gas rumah kaca. Jika dimanfaatkan maka menjadi energi alternatif. Jadi lingkungan menjadi lebih bersih, karena tidak banyak gas metan yang kemana-mana," kata Epi.

Mandiri Energi

Periset Utama dari Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr.rer.nat. Neni Sintawardani mengungkapkan, mengolah kotoran sapi menjadi biogas merupakan langkah kecil yang berdampak besar untuk penyelamatan bumi dari perubahan iklim.

Sebab, mampu menekan emisi gas rumah kaca yang menjadi penyumbang utama pemanasan global dan perubahan iklim yang kini sedang dialami bumi. 

Panas yang masuk tak bisa keluar dan terus-menerus memantul di bumi menjadikan suhu bumi menjadi lebih hangat.

Menghangatnya suhu global tersebut berdampak pada perubahan kondisi lingkungan bumi, terutama kekacauan pola cuaca dan iklim.

"Kalau (kotoran sapi) tidak diolah, akan merugikan banyak pihak karena kotoran itu akan mendarat dimana-mana kan?. Bisa di air atau tergeletak begitu saja. Kotoran sapi itu mengandung bakteri anaerobik yang bisa menghasilkan gas metana," jelas Neni.

Gas metana atau CH4, merupakan gas rumah kaca utama yang berpotensi menyebabkan pemanasan global 25 kali lebih besar dibanding karbon dioksida atau CO2 pada jumlah yang sama dalam periode 100 tahun.

Sederhana Tapi Berdampak Besar 

Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo mengapresiasi warga Balong Wetan, Kalurahan Umbulharjo, Kapanewon Cangkringan, Kabupaten Sleman yang melakukan pengolahan kotoran sapi menjadi biogas untuk kebutuhan memasak setiap hari.

Ia mengaku senang, karena praktik baik tersebut meskipun sederhana namun berdampak besar. 

"Senang sekali melihat warga Umbulharjo bisa memanfaatkan biogas. Ini solusi sederhana tapi dampaknya besar, terutama untuk menghemat pengeluaran masyarkat," kata Kustini, Senin (12/8/2024). 

Inovasi serupa, kata dia, sebenarnya sudah banyak diaplikasikan di Sleman. Di mana banyak wilayah lain juga telah sukses memanfaatkan biogas untuk berbagai kebutuhan.

Kustini pun mendorong agar inovasi serupa bisa diterapkan masyarakat di seluruh wilayah. Bupati perempuan pertama di Sleman ini menekankan bahwa peran masyarakat sangat penting dalam keberhasilan inovasi ini. 

"Penggunaan biogas ini menunjukkan bahwa warga Sleman sangat kreatif dalam berinovasi. Kami di Pemerintah akan terus mendukung inisiatif-inisiatif seperti ini agar semakin banyak kalurahan yang bisa memanfaatkan," ungkap dia. 

Semakin meluasnya adopsi teknologi biogas di Sleman, Bupati berharap hal ini dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk memaksimalkan potensi limbah menjadi sumber energi yang bermanfaat. 

"Ini juga jadi contoh nyata bagaimana limbah bisa diolah menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat, dan kita akan terus mendorong pengembangan teknologi ini di lebih banyak kalurahan," kata Bupati.(*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved