Rektor UGM Temui Mahasiswa yang Kemah di Kampus, Sebut Tak Ada Uang Pangkal

Mahasiswa mendesak Rektor UGM dan jajarannya ikut bersama dalam gerakan mahasiswa memprotes pengadaan uang pangkal tersebut.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA/Ardhike Indah
Mahasiswa UGM berkemah di kampus sejak Senin (27/5/2024) hingga Jumat (31/5/2024) untuk memprotes kebijakan kenaikan UKT dan pengadaan IPI. Foto diambil Jumat (31/5/2024) sekitar pukul 11.00 WIB 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Sudah sejak Senin (27/5/2024), sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kemah di Halaman Pancasila.

Mereka bertahan untuk memprotes tingginya nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan adanya Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau yang biasa disebut dengan uang pangkal.

Mereka yang berjumlah puluhan enggan bicara jika Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D. tidak menanggapi mereka.

Panas terik dan dinginnya malam pun mereka lalui di tenda-tenda yang hanya berjumlah beberapa buah.

Di dekat-dekat tenda, ada dua karangan bunga bertuliskan ‘Turut Berduka Kampus Kerakyatan CaMaba dan Mahasiswa’, juga ‘Selamat dan Selimut atas Diberlakukan Uang Pangkal UGM’.

Tampak pula spanduk bertuliskan ‘UGM Universitas Gemar Memalak’.

Pada Jumat (31/5/2024), Rektor UGM beserta jajaran rektorat baru menemui mereka di Halaman Pancasila setelah ada negosiasi yang cukup alot antara pihak rektorat dan mahasiswa.

Baca juga: Skema Penetapan UKT dan IPI di UGM tahun 2024, Tak Ada Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

Sekitar pukul 10.30 WIB, Sekretaris Direktorat Kemahasiswaan UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si sempat meminta perwakilan mahasiswa untuk menemui rektor di ruangan.

Akan tetapi, mahasiswa menolak permintaan tersebut.

Mereka berdalih, mereka tak bisa menyampaikan pendapat semua mahasiswa jika hanya perwakilan yang berbicara dengan rektor.

Baru kemudian, pada pukul 11.15 WIB, Rektor UGM beserta jajaran menemui mereka di Halaman Pancasila.

Selama 30 menit, mereka berdialog dengan Ova. Tuntutan mereka masih sama, yakni menolak adanya uang pangkal.

“Tuntutan kami adalah tolak uang pangkal. Sangat sederhana karena kami tidak ingin ada uang pangkal di UGM. Kami minta kampus hapuskan uang pangkal untuk seluruh jenjang Uang Kuliah Tunggal (UKT),” ucap Gayuh dari Fakultas Filsafat yang mewakili mahasiswa.

Dia mendesak agar Rektor UGM dan jajarannya ikut bersama dalam gerakan mahasiswa memprotes pengadaan uang pangkal tersebut.

Tuntutan lain, Gayuh meminta agar UGM juga bersuara mendorong pemerintah menaikkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pendidikan tinggi menjadi sebesar 30 persen.

Di hadapan mahasiswa, Ova mengatakan, apa yang disampaikan Gayuh dan kawan-kawan sejalan dengan visi misi dari UGM.

“Kalau yang disebut dengan uang pangkal, ini jadi salah pemahaman. UGM ingin melaksanakan suatu proses pendidikan dengan berkeadilan. Mahasiswa yang kaya, silakan berikan subsidi, yang miskin, tidak mampu, harus kita tolong. Itu adalah misi kita bersama,” tutur Ova.

Baca juga: Kenaikan UKT 2024 Akhirnya Dibatalkan, Begini Repson Kampus dan Mahasiswa

Maka dari itu, Ova meluruskan misinterpretasi terkait uang pangkal.

Di UGM, kata dia, tidak ada uang pangkal yang dikenakan ke mahasiswa.

“Namanya itu adalah Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU), itu hanya untuk mahasiswa yang mendapatkan UKT paling atas. UKT paling atas adalah untuk mereka yang mampu. Jadi, SSPU itu bukan untuk semua orang, kita harus adil,” terang dia.

Ova menambahkan, pihaknya sangat selektif terkait siapa yang menerima SSPU. Selama ini, menurutnya, UGM tidak mengenakan SSPU untuk mahasiswa tak mampu.

Dia pun meminta kepada mahasiswa untuk ikut mengoreksi jika ada mahasiswa tidak mampu yang menerima SPPU.

Ova turut menegaskan, UGM kini telah menggunakan aturan lama terkait UKT setelah Permendikbud No 2 Tahun 2024 yang berisi soal kenaikan UKT dibatalkan.

“Kita sudah menggunakan aturan lama. Aturan lama, SPPU hanya untuk UKT tertinggi. Bedakan dengan Permendikbud yang bakal digunakan untuk semua kelas,” terangnya.

Ova turut menyinggung terkait APBN Pendidikan sebesar 30 persen.

Menurutnya, pihak kampus berkomitmen untuk terus menyuarakan kenaikan APBN di bidang pendidikan.

“APBN 30 persen itu memang hal yang sering kita suarakan. Bukan hanya di level kementerian, tapi juga ke negara. Memang, biaya pendidikan terbagi tidak hanya di Kementerian Pendidikan. Saya kira, itu adalah keputusan high-level yang bagus untuk disuarakan,” tukasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved