18 Tahun Gempa Jogja
HARI INI 18 Tahun Gempa Jogja, Apa yang Harus Dilakukan Jika Ada Gempa Besar?
18 tahun lalu, Gempa Jogja 2006 menewaskan ribuan orang di Bantul dan Klaten, ratusan ribu rumah rusak. Apa yang harus dilakukan jika ada gempa besar?
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Hari ini, tepat 18 tahun lalu, pada 27 Mei 2006, gempa dengan kekuatan 5,9 skala Richter atau 6,4 skala Magnitudo mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya di pagi hari, tepatnya pukul 05:53 WIB.
Gempa itu menggoyang bumi selama 57 detik. Meski gempa terjadi tak sampai semenit, namun guncangannya mampu menyebabkan ratusan ribu rumah hancur hingga ribuan orang meninggal dunia.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul, sebanyak 4.143 korban meninggal dunia di wilayah Bantul, dengan jumlah rumah rusak 71.763 rumah.
Sementara itu, di wilayah lain, tepatnya di Klaten, korban meninggal tercatat mencapai 5.782 orang, 26.299 korban luka berat dan ringan, serta 390.077 lebih rumah roboh.
Hingga kini, DI Yogyakarta pun kerap dihantui gempa-gempa berskala cukup besar, meski tidak mematikan.
Apa yang harus dilakukan jika ada gempa besar? Berikut catatannya:
Mitigasi sebelum gempa bumi:
1. Perkuat struktur bangunan
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menjelaskan, mitigasi utama yakni mitigasi struktural pada bangunan.
“Mitigasi gempa paling dominan adalah mitigasi struktural, yaitu penguatan struktur bangunan agar tahan gempa,” ucap Abdul, Jumat (12/5/2023), mengutip Kompas.com.
Abdul menjelaskan, mitigasi struktural bangunan adalah kunci penting dalam meminimalkan potensi korban jiwa akibat gempa.
“Karena pada dasarnya bukan gempa yang membunuh, tetapi bangunan yang rubuh akibat gempa,” jelasnya.
2. Pembangunan mengacu SNI
Ia mengungkapkan, Indonesia sudah mempunyai Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa.
“Setiap kita seharusnya wajib untuk mengacu ke dokumen tersebut ketika membangun bangunan atau aset pribadi maupun aset kolektif,” ungkapnya.
3. Lakukan retrofitting
Jika bangunan tidak tahan gempa, maka disarankan oleh Abdul untuk melakukan retrofitting atau penguatan struktur bangunan secara mandiri.
“Caranya sudah banyak tersedia di internet. BNPB juga sudah sangat sering mensosialiskan metode penguatan bangunan tahan gempa yang berbiaya murah,” katanya.
Jika retrofitting tidak bisa untuk dilakukan, maka bisa memastikan jalur keluar rumah bersih dari potensi rubuhan perabot yang besar seperti lemari, lampu gantung yang besar, dan sebagainya.
“Juga dengan mengenali lokasi bangunan berada dan jalur evakuasi yang ada,” ujar Abdul.
Mitigasi saat gempa bumi:
1. Segera berlari keluar bangunan
Abdul menuturkan, jika terjadi gempa, maka segera berlari keluar bangunan menuju tanah lapang.
“Segera berlari menuju tanah lapang agar tidak tertimpa reruntuhan bangunan jika rubuh,” ujarnya.
Jika seseorang berada di lantai dua ke atas di sebuah gedung saat terjadi gempa, sebaiknya gunakan tangga darurat untuk turun dan keluar dari gedung.
“Keluar bangunan melalui tangga darurat, jangan pakai lift karena bisa saja listrik mati karena gempa,” tutur Abdul.
2. Berlindung di bawah meja
Jika guncangan gempa sangat kuat dan tidak memungkinkan untuk lari, Abdul menyarankan untuk berlindung di bawah meja yang cukup kuat.
“Jangan meja kaca, meja cukup kuat agar terlindung dari palfon atau runtuhan yang jatuh. Berlindung sampai guncangan mereda,” jelasnya.
Kemudian ketika guncangan gempa bumi sudah mereda, segera untuk lari keluar bangunan.
Lantas, mengapa gempa Yogyakarta tahun 2006 itu begitu mematikan?
Melansir laman Universitas Gadjah Mada (UGM) di ugm.ac.id, Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM pernah menggelar diskusi bertema ‘Refleksi Gempa Bumi Yogyakarta 2006’ pada 4 April 2020.

Dr. Gayatri Indah Marliyani, ST. M.Sc., Ahli Kegempaan Teknik Geologi UGM, menyampaikan banyak hal yang dapat dipelajari dari gempa tahun 2006 tersebut.
Dia menyebut, gempa itu memiliki magnitude sebesar M 6,4.
Pada umumnya, kekuatan dengan skala itu tidak menyebabkan kerusakan fatal.
Akan tetapi, pada kenyataannya, gempa tersebut berdampak besar dengan kerusakan yang ditimbulkan di hampir semua kawasan DIY. Berikut rangkumannya:
1. Kedalaman gempa dangkal
Gayatri mengatakan hal itu disebabkan sumber serta kedalaman dari gempa yang dangkal.
“Sumber gempa berada di daratan di Sesar Opak yang berada di sebelah timur Kota Yogyakarta, memanjang dari Prambanan hingga sisi timur pantai Parangtritis,” katanya pada saat itu.
Dia melanjutkan, sesar ini memang tidak secara langsung berada pada batas zona subduksi tapi pembentukannya masih berkaitan dengan proses subduksi lempeng samudera di bawah lempeng benua di selatan Jawa.
“Kedalamannya hanya 12,5 km di bawah tanah sehingga mengakibatkan efek goncangan cukup besar, mencapai sekitar VI-VII MMI," ungkapnya lagi.
2. Berada di cekungan Yogyakarta
Gayatri menyebutkan kondisi permukaan tanah Yogyakarta juga memengaruhi dampak kerusakan akibat gempa tersebut.
Ia menunjukkan area Yogyakarta ini berada dalam sebuah cekungan yang dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo di sisi barat dan Pegununungan Selatan di sisi timur.
Area ini disebut sebagai Cekungan Yogyakarta.
Namun, cekungan tersebut, menurut Gayatri, kini telah diisi oleh endapan lepas berupa pasir dan batuan yang berasal dari letusan Gunung Merapi.
Kedalaman sedimen lepas ini kurang lebih 50 meter.
“Ketika gempa terjadi endapan lepas tersebut menyebabkan terjadinya amplifikasi gelombang gempa sehingga menyebabkan permukaan di atasnya mengalami goncangan keras dan hasilnya adalah tingginya kerusakan yang terjadi pada tahun 2006 lalu," paparnya.
3. Kajian geologis kala itu belum mampu identifikasi Sesar Opak
Waktu itu tidak ada seorangpun yang menyangka akan terjadi gempa bumi tektonik yang bukan akibat Gunung Merapi dengan kekuatan sebesar itu.
Dia mengatakan, kajian geologis kala itu belum mampu mengidentifikasi keberadaan sesar yang kini disebut sebagai Sesar Opak, sehingga gempa yang terjadi waktu itu tidak terduga.
“Setelah terjadi gempa 2006 itu, para akademisi mulai gencar meneliti kembali kondisi geologis daerah Yogyakarta ini,” beber dia.
Dikatakannya, setelah gempa itu, pencarian literatur kajian lama juga dilakukan yang akhirnya ditemukan bahwa gempa 2006 ini bukanlah gempa pertama yang terjadi di daerah Yogyakarta berdasarkan tulisan dari seorang penelti asal Belanda.
Sudah puluhan kali terjadi gempa dengan skala yang beragam selama kurun 200 tahun di Jawa.
“Salah satunya gempa besar yang terjadi pada tahun 1867 di sepanjang Sesar Opak yang menyebabkan efek goncangan mencapai VIII MMI,” ungkapnya.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
18 tahun gempa Jogja
18 Tahun Gempa Jogja 2006
Gempa Jogja 2006
Gempa Yogyakarta
Gempa bantul
Sesar Opak
Tribunjogja.com
Refleksi 18 Tahun Gempa Jogja, PMI Bantul Berziarah ke Tempat Pemakaman Khusus Dinsos Bantul |
![]() |
---|
Pameran Napak Tilas 18 Tahun Gempa Jogja Jadi Sarana DPAD DIY Edukasi Masyarakat |
![]() |
---|
PSIM Yogyakarta: Kenangan Eks Punggawa Laskar Mataram Kala Gempa Jogja 2006 Melanda |
![]() |
---|
18 Tahun Gempa Jogja: BPBD Bantul Lakukan Refleksi, Sebut 5.000 Lebih Jiwa Terdampak |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.