Penampakan Masjid Aolia di Gunungkidul, Klasik dan Dihiasi Ornamen Kaligrafi

Masjid Aolia berdiri di Jalan Panggang Nomor 3, Panggang III, Giriharjo, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Masjid didirikan pada tahun 1984

Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Joko Widiyarso
Google Maps
Masjid Aolia Panggang, Gunungkidul 

TRIBUNJOGJA.COM - Jemaah Aolia menjadi pembicaraan hangat di kalangan warganet lantaran melaksanakan salat Idulfitri terlebih dahulu.

Sebelumnya, jemaah yang ada di daerah Panggang, Giriharjo, Kabupaten Gunungkidul itu juga melaksanakan puasa terlebih dahulu dibandingkan hasil sidang isbat pemerintah.

Di tengah perbincangan hangat jemaah Aolia, pernahkah Anda melihat dalamnya masjid Aolia yang ada di Panggang?

Masjid Aolia berdiri di Jalan Panggang Nomor 3, Panggang III, Giriharjo, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul.

Masjid didirikan pada tahun 1984 oleh KH Ibnu Hajar Pranolo atau akrab disapa Mbah Benu.

Dari pengamatan Tribunjogja.com melalui sejumlah foto yang ada di Google Maps, masjid itu memiliki ornamen klasik.

Tampak samping, ornamen kaligrafi berwarna hijau, kuning dan putih, terlihat dipajang di antara dua jendela. Dua jendela itu memiliki tiga kaca. List bangunan pun diberi cat warna hijau.

Masjid Aolia diberi pagar keliling berwarna coklat terang dengan hiasan setengah lingkaran di atas pagarnya.

Pada bagian depan, ada tulisan The Death in Memoriam yang dipahat di sebuah batu, dengan gambar bunga di bagian samping.

Di bagian atas tulisan tersebut, ada ornamen tulisan Arab yang dibaca zikril mauti atau mengingat kematian.

Masjid Aolia atau Masjid Aoliya, tempat beribadah Jemaah Aolia, Desa Giriharjo, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Masjid Aolia atau Masjid Aoliya, tempat beribadah Jemaah Aolia, Desa Giriharjo, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY. (Tangkapan Layar Google Maps | Foto oleh akun "Ali Santoso")

Gapura masuk masjid juga dicat warna hijau, dengan list genteng warna cokelat. Di bagian gapura tertulis sekian Agustus 1984. Dipercaya,

Di bagian dalam, tampak empat pilar kokoh menjadi penyangga bangunan masjid.

Cat hijau, kuning dan putih juga mendominasi bagian dalam yang dipenuhi ornamen kaligrafi.

Lampu gantung besar bergaya jadul berada di tengah masjid, dekat dengan mimbar imam.

Berdasarkan hasil penelitian ilmiah Mohammad Ulyan mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam IAIN Puwokerto tahun 2017 berjudul Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo 1942-Sekarang (2017), ornamen itu seolah-olah menggambarkan masjid sudah ada sejak tahun 1800-an.

Bentuk kubah masjid khas, mirip kuali (priuk) tebalik menghiasi puncaknya.

Sebagian besar jendela dihiasi ornamen kaligrafi di bagian atas bermotif kuning dan hijau membuat grafis tampak kontras.

Penulis juga menuliskan tentang pahatan The Deat in Memoriam, yang ternyata merupakan replika nisan sebagai pengingat kematian.

Tulisan The Death in Memoriam terpampang di bawah kaligrafi tulisan Arab yang berarti mengingat kematian agar ketika orang yang datang ke masjid ini mengingat
kematian.

Di dalam masjid terdapat cermin yang cukup besar tergantung di dinding.

Cermin tersebut berjumlah sekitar sembilan buah yang di pasang mengelilingi ruangan masjid.

Berdasarkan tesis tersebut, menurut Mbah Benu cermin itu merupakan media untuk berhias, koreksi diri, dan sebagi pelajaran.

Masjid dibangun di atas tanah wakaf Warjo Wiyono. Pembuatan masjid antara kyai dengan jamaahnya dilakukan selama berbulan-bulan.

Meski jemaah Aolia berlebaran terlebih dahulu, Lurah Giriharjo, Sutarpan mengatakan aktivitas puluhan warga yang tergabung dalam jemaah Aolia sudah dilakukan sejak dulu.

Warganya sudah terbiasa dengan penetapan Hari Raya Idulfitri lebih awal yang ditentukan oleh jemaah Aolia.

Jemaah Masjid Aolia atau Jemaah Aolia di Masjid Aolia, Desa Giriharjo, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Jemaah Masjid Aolia atau Jemaah Aolia di Masjid Aolia, Desa Giriharjo, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY. (Tangkapan Layar Google Maps | Foto oleh akun "Ridwan Wonosari20")

"Kami sudah terbiasa dengan ini, sehingga jika mereka merayakan lebih cepat, warga di sini hanya bisa toleransi dan menghormati," ucapnya.

Dia mengaku, selama ini hubungan antara jemaah Aolia dan warga yang bukan jemaah terjalin harmonis.

Warga saling memahami. "Tidak pernah ribut-ribut. Kami di sini ya damai saja. Mereka ibadah ya silakan. Tidak ada yang merasa terganggu," ujarnya.

Hubungan harmonis itu, kata Sutarpan, dapat dilihat saat perayaan Lebaran yang ditetapkan oleh pemerintah.

Biasanya jemaah Aolia dan warga lainnya mengadakan halalbihalal untuk satu kampung.

"Kalau sudah hari Lebaran yang umum dari pemerintah. Kami di sini semua ngumpul untuk halalbihalal, gabung semua termasuk jemaah Aolia. Jadi memang tidak ada selisih antar warga, semua saling menghormati," terangnya.

Sementara itu, saat ditanya apakah tradisi silaturahmi antara warga saat Lebaran juga berlaku saat perayaan Lebaran versi jemaah Aolia.

"Biasanya saling mengunjungi sesama mereka saja. Mereka juga buat halalbihalal di rumah imamnya ya itu Mbah Benu, jadi lebih banyak aktivitas di sana," urainya.

 

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved