Pilpres 2024

Soroti Dugaan Penggelembungan Suara di Pilpres 2024, KPU DIY Dihadiahi Buku Pelajaran Matematika

Dalam aksinya, pengunjuk rasa turut menyerahkan buku-buku pelajaran matematika, yang diterima langsung oleh Ketua KPU DIY Ahmad Shidqi.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Aksi teatrikal pengunjuk rasa di halaman KPU DIY, Selasa (20/22024) siang, menyoroti dugaan penggelembungan suara di Pilpres 2024. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - "Siji telu telu, astane sedheku. Mirengake Pak Guru, ojo manut KPU. Papat nuli limo lenggahe sing tata, pemilune negara hasile ditata."

Demikian sepenggal tembang dolanan berbahasa Jawa yang liriknya telah diubah, dinyanyikan oleh puluhan pengunjuk rasa di halaman KPU DIY, Jalan Ipda Tut Harsono, Timoho, Kota Yogyakarta, Selasa (20/2/2024) siang.

Mengenakan seragam Sekolah Dasar (SD) merah-putih lengkap dengan topinya, puluhan pengunjuk rasa yang mengatasnamakan diri Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi dan Keadilan (Garda) menggelar aksi teatrikal kegiatan belajar mengajar Matematika, sebagai kritik terhadap adanya dugaan praktik penggelembungan suara dalam sistem rekapitulasi suara KPU.

Dalam aksinya, pengunjuk rasa turut menyerahkan buku-buku pelajaran matematika, yang diterima langsung oleh Ketua KPU DIY Ahmad Shidqi.

"Kami datang atas nama rakyat Yogyakarta Pro Demokrasi dan Menjaga Konstitusi, datang ke Kantor KPU DIY untuk menyampaikan keprihatinan kami bahwa pemilu kali ini benar-benar pemilu yang sangat gila, dimana kecurangan-kecurangan sangat nyata di depan kita. Kami sebagai rakyat Yogyakarta yang pro demokrasi dan menjaga konstitusi, tidak terima dengan hasil pemilu yang seperti ini," kata koordinator lapangan (korlap) aksi, Agus Becak Sunandar.

"Ini bukan masalah paslon 01, 02 dan 03, tetapi ini adalah bagaimana kita menjaga demokrasi kita, menjaga konstitusi, inilah aspirasi kami," lanjutnya.

Terkait aksi teatrikal belajar matematika, Agus Becak mengatakan bahwa hal tersebut sebagai bentuk kritik ke KPU seluruh Indonesia terkait maraknya dugaan penggelembungan suara.

Harapannya, lanjut Agus, KPU semakin cerdas dalam penguasaan ilmu matematika sehingga dapat melakukan penghitungan rekapitulasi suara dengan benar.

"Kecurangan-kecurangannya sangat nyata seperti yang sudah terlihat di beberapa daerah, kecurangannya sangat masif sekali. Sekali lagi, ini bukan persoalan Ganjar- Mahfud MD, Anies Baswedan- Cak Imin, maupun Prabowo Gibran, tapi ini persoalan kita bersama bangsa Indonesia," kata dia.

"Paling mutakhir adalah kisruh penggelembungan penghitungan suara. Sistem rekapitulasi suara KPU (Sirekap) tiba-tiba secara ajaib melonjakkan suara pasangan tertentu bahkan banyak kasus ditemukan perolehannya melampaui jumlah pemilih. Sirekap pun diplesetkan publik sebagai Simark-up. Semua hal itu dilakukan terstruktur, sistematis dan masif," lanjutnya.

"Kami menuntut pemilu jurdil, sesuai konstitusi kita, sesuai harapan masyarakat. Kalau terbukti kecurangan ini, kami ingin pemilu diulang," ujarnya.

Sementara itu, Ketua KPU DIY, Ahmad Shidqi menilai aksi tersebut sebagai bagian dari aspirasi masyarakat dalam mengawal proses pemilu, agar berjalan dengan baik.

"Kami berterima kasih, justru proses pemilu ini tidak hanya dikawal sampai dengan 14 Februari tetapi sampai dengan proses penetapan rekapitulasi terus dikawal. Selama ini sering kali masyarakat begitu selesai mencoblos, lalu sudah (selesai). Tapi justru yang tidak kalah penting, paska 14 Februari suara itu tetap dikawal, hari ini wujud dari kepedulian masyarakat Yogyakarta untuk terus mengawal proses pemilu sampai tuntas," ujar Ahmad Shidqi.

Terkait dugaan penggelembungan suara sebagaimana disuarakan para pengunjuk rasa, Ahmad Shidqi menilai bahwa sebenarnya ada anomali angka dari perolehan pembacaan Sirekap terhadap plano atau catatan hasil penghitungan suara Pemilu 2024.

"Itu kemudian memunculkan anomali angka sampai melebihi DPT, 800, 500, ini kan anomali sekali. Dalam beberapa hari ini dikoreksi oleh KPU melalui Sirekap sekaligus dikoreksi melalui rapat pleno berjenjang di kecamatan," ujarnya.

"Jadi ketika pembacaan Sirekap itu kemudian keliru maka langsung dibetulkan di pleno kecamatan. Begitu juga ketika di info pemilu itu munculnya keliru atau tidak sesuai dengan plano langsung oleh operator diperbaiki, dikoreksi," lanjutnya.

"Jadi sebenarnya yang memunculkan asumsi soal angka itu kan pembacaan mesin Sirekap terhadap plano yang tidak logis, anomali tinggi sekali. DPT saja maksimal 300 (per TPS) tapi ternyata hasilnya sampai 800. Ini kan anomali dan harus diperbaiki. Tapi prinsipnya dengan adanya Sirekap ini justru kita transparan semua bisa diketahui oleh publik, publik justru bisa mengoreksi. Plano juga bisa diketahui oleh publik dan itu dengan Sirekap. Kalau tidak ada publikasi itu justru malah gelap semua," tambahnya.

Ditambahkan Shidqi, anomali penghitungan suara bukan hanya di DIY namun juga secara nasional.

"Di DIY ada beberapa, tapi Sirekap itu nasional. Sehingga perbaikan itu dilakukan oleh KPU seluruh Indonesia. Ada anomali itu harus diperbaiki, kalau tidak kan bahaya. Anomali itu pembacaan sistem Sirekap terhadap plano, ini yang hrus diperbaiki," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved