Pakar Hukum Tata Negara UGM Sebut Putusan DKPP Sangat Terlambat

Menurut Zainal Arifin Mochtar, putusan DKPP saat ini sudah sangat terlambat. Hal itu karena tidak ada efek diskualifikasi.

Instagram Zaenal Arifin Mochtar
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Masa, Zainal Arifin Mochtar angkat bicara soal sanksi peringatan keras terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)  kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari. 

Menurut dia, putusan DKPP saat ini sudah sangat terlambat. Hal itu karena tidak ada efek diskualifikasi. Padahal efek diskualifikasi penting dalam menjaga demokrasi. 

"Terlambatnya cukup jauh karena sekarang posisinya sudah mengunci. Saya nggak tahu kenapa kemudian DKPP terlalu lama untuk memutuskan. Pemilu tinggal 9 hari, padahal untuk mengubah itu kan sudah nggak mungkin. Sekurang-kurangnya 60 hari kan sebenarnya kalau kita pakai undang-undang dan PKPU, bahkan kalau kandidat meninggal kan udah gak bisa diganti tuh," katanya, Senin (05/02/2024). 

Ia juga menyebut tidak ada konteks aturan implikasi hukum yang jelas dari pelanggaran etik itu. Apalagi kesalahan etik ini bukanlah yang pertama. Seperti yang terjadi di Mahkamah Konstitusi juga terkesan menghindari dan tidak memutuskan sama sekali. 

Baca juga: Soroti Pelanggaran Etik, Forum Cik Di Tiro Tetapkan Jokowi sebagai Bapak Politik Dinasti Indonesia

Di sisi lain, putusan etik oleh DKPP bisa menjadi sandaran publik untuk memilih orang yang cacat etik dan dan tidak membiarkan kandidat pemimpin yang sengaja merekayasa kecacatan etik itu. 

Meski pelanggarannya bersifat administratif, namun jika diruntut ke belakang, ada proses yang dipaksakan dan bermasalah sedari awal.

"Saya kira ya satu-satunya mengkonversi dari pelanggaran etik itu menjadi penghukuman di bilik suara sementara waktu. Sembari memang ke depan saya kira memang ada kewajiban besar untuk memperbaiki mulai dari impeachmentnya, membincangkan presiden, kemudian termasuk menjaga kepesertaan-kepesertaan kepemiluan seperti ini," terangnya. 

Menurut dia, tidak mungkin juga menggagalkan Pemilu pada 14 Februari mendatang. Ia mengibaratkan dengan keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. 

"Mau tidak mau kita hukum di bilik suara. Sembari ke depan memang harus diperbaiki atau ada yang mau bertaruh dengan tidak ada pemilu? Ya silakan, saya sendiri tidak ya. Karena itu sama dengan mengundang keluar Perpu, keluar perubahan undang-undang dasar, Jokowi diperpanjang, wah itu lebih ribet saya kira, banyak sekali isu-isu ribet yang bisa terjadi," lanjutnya. 

"Mengkonversi tanggal 14, seperti yang saya bilang tadi mengkonversi tanggal 14 menjadi hari penghukuman, judgements daynya untuk Jokowi dan kroni-kroninya," pungkasnya. (maw) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved