Kolom Bawaslu DIY

Urgensi Pengelolaan Konflik Dalam Pemilu 2024

Pemilu merupakan suatu cara agar rakyat dapat memilih wakil-wakilnya, agar wakil-wakil rakyat yang telah terpilih itu benar-benar legitimate.

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Sutrisnowati, SH., MH., M.Psi, Bawaslu DIY 

Oleh: Sutrisnowati, SH., MH., M.Psi, Bawaslu DIY

TRIBUNJOGJA.COM - Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu merupakan suatu cara agar rakyat dapat memilih wakil-wakilnya, agar wakil-wakil rakyat yang telah terpilih itu benar-benar legitimate, sah, dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan mereka untuk bertindak atas nama rakyat, maka dalam sistem demokrasi langsung harus ditentukan sendiri oleh rakyat melalui individu rakyat pemilih.

Dalam Negara yang menerima sistem demokrasi sebagai sistem nilai penyelenggaraan negara yang baik, maka Pemilu harus dilaksanakan agar dapat menentukan wakil-wakil rakyat yang akan merumuskan dan menentukan corak dan cara serta tujuan pemerintahan atas nama seluruh rakyat dan dijalankan.

Oleh karena itu pemilu bukan tujuan, namun cara untuk mencapai tujuan. Sehingga secara filosofi dalam Pemilu, tujuan tidak dapat dipisahkan dengan cara. Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara (end justify means, fines iustificare significat), tetapi dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan (Undang-Undang Pemilu) yang berbasis pada logika yuridis bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan manifestasi atau perwujudan jiwa bangsa (volksgeist) itu adalah jiwa bangsa yang diderivasi dari Pancasila sebagai jiwa bangsa.

Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam melahirkan pemilu yang berkualitas, seperti masalah politik uang, politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), ujaran kebencian/hoaks, masalah partisipasi pemilih, masalah transparansi, tata kelola pemilu yang akuntabel, masa kampanye dan lainnya.

Terhadap tantangan-tantangan ini bila tidak dikelola dengan baik rentan terjadinya konflik, baik konflik berbasis hak maupun pelanggaran.

Konflik yang berbasis hak dalam hukum kepemiluan disebut sebagai sengketa proses pemilu, yang terdiri dari Sengketa Antar Peserta Pemilu dan Sengketa antara Peserta dengan Penyelenggara Pemilu.

Sengketa Antar Peserta Pemilu terjadi akibat adanya tindakan peserta pemilu yang menyebabkan hak peserta pemilu lainnya dirugikan secara langsung.

Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan/ peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu dan/atau keadaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar Peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu perlunya pengelolaan konflik dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.

Manajemen Konflik Pemilu

Manajemen konflik pemilu merupakan upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mencegah, menghindari terjadinya konflik serta mengurangi resiko dan tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu Tahun 2024.

Manajemen konflik bertujuan untuk menghindari konflik yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu, bila terjadi konflik dalam penyelenggaraan pemilu, maka bisa dikelola secara positif melalui penyelesaian konflik yang fokus pada pemulihan hak/ hubungan dengan menitikberatkan pada kepentingan keadilan (primum remidium) berdasarkan kesepakatan (win win solution) sehingga ada ketenangan psikologis dan politis yang berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat sesuai kesepakatan para pihak.

Ruang lingkup sengketa antar Peserta meliputi: a) sengketa terjadi pada tahapan penyelenggaraan Pemilu; b) mengakibatkan hak peserta Pemilu dirugikan; c) Kerugian disebabkan secara langsung oleh peserta Pemilu lainnya.

Adapun para pihak pada sengketa antar peserta adalah Tim Kampanye dan/atau Pelaksana Kampanye DPR, DPD, Pasangan Calon, dan DPRD yang telah terdaftar di KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Mekanisme legal untuk menyelesaikan konflik berbasis hak (sengketa antar peserta) melalui musyawarah acara cepat.

Berdasarkan kewenangan penyelesaian sengketa antar peserta dilakukan oleh Pengawas Pemilu, baik Pengawas Pemilu tingkat pusat sampai Pengawas Pemilu tingkat kecamatan. Pengawas Pemilu berperan penting sebagai penengah (mediator) bagi para pihak yang bersengketa.

Seorang mediator haruslah netral, adil dan tidak memihak siapapun, dan mampu menjadi mediator yang bijaksana.

Proses musyawarah acara cepat dilakukan terhadap peristiwa di tempat kejadian dengan mengedepankan netralitas, efisiensi dan efektifitas, keamanan, dan ketertiban melalui mengundang para pihak yang bersengketa untuk proses musyawarah acara cepat.

Penyelesaan sengketa antar peserta dapat diselesaikan dalam waktu tiga hari.

Apabila mekanisme musyawarah acara cepat tidak mencapai kesepakatan, maka Pengawas Pemilu memiliki kewenangan untuk mengambil putusan berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang ada.

Atas putusan tersebut diharapkan semua pihak dapat menerima hasil putusan dan berbesar hati untuk menerima.

Musyawarah acara cepat merupakan proses dan langkah spesifik yang dapat dilakukan untuk mencapai hasil yang solutif dan diterima semua pihak, sehingga penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 berlangsung secara aman, damai, luber jurdil, berintegritas dan berkeadilan. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved