Percobaan Perkosaan Mahasiswi S2

Mahasiswi S2 Nyaris Diperkosa di Indekos Sleman, Sosiolog UNY: Ada Perubahan Budaya Toleransi

Kecuekan itu menimbulkan banyak hal negatif, kata dia. Tak hanya pemerkosaan, tapi juga pencurian hingga seks bebas.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Intisari Online
Ilustrasi : percobaan pemerkosaan 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Seorang mahasiswi S2 berinisial FM (27) mengaku menjadi korban dugaan percobaan perkosaan di sebuah  indekos di Condongcatur, Depok, Sleman, Sabtu (17/6/2023) lalu, sekitar pukul 19.30 WIB.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr. Grendi Hendrastomo, S.Sos., M.M., M.A menjelaskan, di balik menjadi komoditas ekonomi yang luar biasa bagi daerah, adanya indekos juga menjadi ladang problematika.

Ia menilai, ada perubahan perilaku sosial masyarakat yang lingkungannya dijadikan indekos untuk mahasiswa di sekitar.

“Kalau kita lihat, di UGM, Sanata Dharma, UNY itu kan penduduk lokalnya minim atau penduduk lokalnya membuat rumah dia jadi indekos juga. Maka, secara sosial, ada perubahan karena ikatan antarwarga jadi renggang,” beber Grendi kepada Tribun Jogja, Jumat (23/6/2023).

Baca juga: KRONOLOGI Percobaan Pemerkosaan Mahasiswi S2 di Kamar Kos di Condongcatur, Pelaku Tetangga Bapak Kos

Renggangnya ikatan antarpenghuni itu membuat perubahan budaya toleransi yang biasanya dimiliki warga DIY.

“Toleransi, kalau dilihat dari sisi negatifnya, itu kan cuek. Karena ikatan antarpenghuni renggang, jadi gak peduli satu sama lain,” terangnya.

Kecuekan itu menimbulkan banyak hal negatif, kata dia. Tak hanya pemerkosaan, tapi juga pencurian hingga seks bebas.

Orang-orang di sekitar tak lagi peduli dengan siapa saja yang berlalu lalang di sekitar area indekos.

“Dalam konteks kasus nyaris diperkosa ini, kita tidak sekadar menyalahkan sepi, tapi bagaimana pelaku itu bisa masuk ke dalam rumah yang notabene adalah ruang privat, bukan ruang publik,” tanyanya.

Tingkat kecuekan yang tinggi itu membuat orang pada umumnya berpikir adanya orang asing di ruang privat adalah hal yang biasa.

Padahal, menurut Grendi, masuknya orang asing ke indekos itu bisa dicegah sedini mungkin ketika orang peduli dengan kondisi lingkungan yang ada.

Sayangnya, kini, kepedulian itu sering dicap jelek dan dianggap ingin mengetahui hal apapun atau yang biasa disebut dengan kepo.

“Bisa jadi, di satu padukuhan itu ada aturan keamanan, tapi tidak spesifik mengikat norma dan nilai yang harus dipenuhi anggota masyarakat, terutama pendatang. Acapkali, pendatang tidak jadi sasaran aturan dengan dalih pendatang,” jelas dia.

Permasalahan akan semakin kompleks, kata dia, apabila orang yang punya tidak tinggal di indekos itu.

Baca juga: Polisi Lakukan Penyelidikan Mahasiswi S2 Diduga Nyaris Diperkosa di Indekos di Sleman

Pemilik jadi tidak tahu ada aturan di padukuhan, tidak juga menerapkan dan penghuni adalah pendatang.

Grendi menganggap, kini banyak anak muda yang memilih kebebasan saat mencari indekos.

Minimnya aturan dari pemilik membuat mereka memiliki lebih banyak privasi, seperti tidak ada jam malam, kunci gembok pagar bawa sendiri dan lain sebagainya.

“Kalaupun ada pemilik indekos di situ, mereka biasanya juga menganggap mahasiswa sudah mandiri, bisa mengurus dirinya sendiri. Jadi, semakin berkuranglah kepedulian itu,” ucap dia.

Grendi juga menambahkan, kini ronda di daerah banyak tergantikan dengan membayar uang jimpitan saja.

Padahal, ronda itu bisa mencegah dan mengenali orang-orang asing yang tetiba masuk ke dalam area tersebut.

“Banyak tetangga sibuk dengan dunianya, lingkungan sosial itu sebatas sarana formalitas saja. Buktinya, banyak yang milih ganti bayar saja daripada ikut siskamling,” bebernya.

Tidak hanya itu, keamanan kini juga diganti dengan menaruh CCTV di daerah tersebut.

Padahal, CCTV hanya sebagai alat pembantu mengawasi saja. Adanya CCTV bukan berarti orang asing tak bisa menerobos masuk ke rumah-rumah indekos.

“Itu hanya terknologi, tidak punya justifikasi bahwa orang ini dikenal atau tidak atau orang ini punya niat baik atau buruk. Idealnya, kepedulian itu tetap harus ditingkatkan untuk menjaga satu sama lain, bukan sekadar kepo,” tukas dia. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved