Mbah Maridjan Putri Meninggal
KISAH Hidup Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi yang Meninggal Dalam Keadaan Sujud
Mbah Ponirah adalah sosok yang setia menemani Mbah Maridjan semasa hidup dalam menjalankan tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM - Istri dari mendiang Mbah Maridjan (juru kunci Gunung Merapi), Ponirah meninggal dunia di usia 93 tahun pada hari ini Senin (1/5/2023).
Mbah Ponirah adalah sosok yang setia menemani Mbah Maridjan semasa hidup dalam menjalankan tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Dari pernikahan ini, Mbah Maridjan dan Mbah Ponirah dikaruniai 10 orang anak.
Ya, Gunung Merapi yang berada di perbatasan empat kabupaten di Yogyakarta dan Jawa Tengah tak bisa dilepaskan dari kisa Mbah Maridjan.
Sang juru kunci Gunung Merapi yang berusia 83 tahun itu masuk dalam daftar 32 korban meningggal saat erupsi Merapi pada 26 Oktober 2010.
Tak hanya menewaskan 32 nyawan, kala itu 291 rumah rusak dan satu tanggul di Desa Ngepos jebol akibat luapan lahar dingin.
Menggantikan sang ayah
Mbah Maridjan lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman pada tahun 1927.
Ia diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi pada tahun 1982 menggantikan sang ayah yang meninggal dunia.
Sebelumnya Maridjan muda diberi tanggung jawab sebaga wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci.
Ia mendampingi ayah menjabat sebagai juru kunci Merapi.
Mbah Maridjan diangkat menjadi diangkat menjadi Abdi Dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono XI dengan nama baru Mas Penewu Suraksohargo.
Dalam tulisannya yang berjudul Manusia Sejati dalam Falsafah Mbah Maridjan dan Abdul Karim Al Jill, M Baharudin dari Fakultas Islahudin IAIN Raden Intan menjelaskan jika sejak lahir hingga wafat, Mbah Maridjan hanya bermukim di satu tempat yakni di Gunung Merapi.
Secara emosional, ia merasa memiliki kedekatan dengan Gunung Merapi dan secara kultural, Mbah Maridjan menjalankan tirakat dan percaya bahwa Gunung Merapi dikuasai yang ia sebut Bahureksa.
Sebagai juru kunci Gunung Merapi, ia melihat fenomena alam dengan menggunakan kacamata naluriah yang merujuk pada kebiasaan niteni (mengamati).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.