Mbah Maridjan Putri Meninggal
KISAH Cinta Mbah Maridjan dan Ponirah, Cinta Sejati di Gunung Merapi
Kisah cinta Ponirah dan Mbah Maridjan memang tidak banyak diekspos oleh media. Ponirah dikenal sebagai pendamping sang juru kunci Gunung Merapi
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Lebih dari satu dekade Ponirah ditinggalkan oleh cinta sejatinya, Maridjan yang telah pergi terlebih dulu pada 26 Oktober 2010.
Kini, Ponirah menutup usia pada 93 tahun di Hunian Tetap (Huntap) Karangkendal, Relokasi Padukuhan Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada Senin (1/5/2023).
Kabar duka tersebut dikonfirmasi oleh putra Mbah Maridjan dan Ponirah, Kliwon Suraksohargo Asihono atau yang akrab disapa Asih.
"Benar, ibu sakit sepuh sudah beberapa lama," ujar Asih via telepon kepada Tribunjogja.com.
Ponirah dikabarkan meninggal dunia pukul 07.20 WIB dan disemayamkan Makam Sasonoloyo Srunen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman pukul 13.00 WIB.
Kisah cinta Ponirah dan Mbah Maridjan memang tidak banyak diekspos oleh media.
Ponirah dikenal sebagai pendamping sang juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan hingga ajal menjemput suaminya itu.
Mereka memiliki 10 orang anak, tapi lima diantaranya meninggal.
Dalam sebuah skripsi karya Anang Rujito, alumni Universitas Sanata Dharma berjudul Perasaan Kehilangan yang Mendalam: Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan yang diujikan pada 7 April 2013, kisah Ponirah pun mulai sedikit terkuak.
Baca juga: BREAKING NEWS: Ponirah, Istri Mendiang Mbah Maridjan Meninggal Dunia di Usia 93 Tahun
Ponirah mengalami kekecewaan berat pascaerupsi Gunung Merapi pada Selasa 26 Oktober 2010.
Erupsi kala itu merenggut nyawa Mbah Maridjan yang enggan dievakuasi.
Ia memang terkenal sebagai juru kunci yang setia.
Alasannya, Mbah Maridjan ingin menepati janjinya kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk terus menjaga Merapi sampai akhir hayat.
Mbah Maridjan memilih menetap di rumahnya di Desa Kinahrejo, saat keluarganya mengungsi.
Awan panas dari Merapi, gunung yang dijaganya pun merenggut nyawanya.
Mbah Maridjan ditemukan meninggal di dapur rumahnya dan ditemukan pada Rabu (27/10/2010).
Berdasarkan data BPPTKG, erupsi Merapi terjadi pada Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.02 WIB.
Awan panas guguran Gunung Merapi meluncur hingga 8 kilometer ke arah tenggara atau ke Kali Gendol.
Kejadian ini mengawali rangkaian erupsi Merapi tahun 2010.
“Hatinya terkoyak karena beliau kehilangan sosok suami yang selalu setia menemani hidupnya
sehari-hari,” tulis skripsi itu.
“Sungguh berat bagi Ibu Ponirah untuk menghilangkan rasa traumanya, menghilangkan rasa kehilangan yang begitu mendalam, luka batin yang begitu berat dihadapi. Ibu Ponirah merasakan hari-hari yang sepi tak bermakna dalam menghadapi kehidupannya,” tambah peneliti.
Dalam penelitian itu, tertulis Ponirah mengalami was-was saat menemani Mbah Maridjan berada di Kinahrejo, setiap kali gunung itu bergejolak dalam kurun waktu 4-5 tahunan.
Baca juga: KISAH Hidup Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi yang Meninggal Dalam Keadaan Sujud
Ponirah disebut kerap bertanya mengapa suaminya harus meninggal dengan cara tersapu awan panas.
Peneliti menuliskan kembali ucapan Ponirah yang pada saat itu baru kehilangan suaminya selama tiga tahun.
“Aku gelo banget kelangan Mbah Kakung. Aku krungu kabar kui, aku trus raiso ngopo-ngopo. Rasane kaya arep melu mati bareng Mbah Kakung. (Aku kecewa sekali kehilangan Mbah Kakung. Aku dengar kabar itu, aku terus tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya seperti ingin ikut mati bersama Mbah Kakung),” tulis peneliti.
Kepada peneliti, Ponirah mengakui ia tidak lagi bergairah menyelesaikan hidup.
“Mbah Kakung wis raono, dadi gothang, ono sik ilang. Bendinane rasane dadi aras-arasen. (Mbah Kakung sudah tiada, jadi janggal, ada yang hilang. Setiap hari rasanya malas),” ucap Ponirah yang dituliskan di dalam skripsi peneliti.
Sosok yang Tabah

Hanya ketabahan Ponirah yang membuatnya bisa hidup hingga lebih dari satu dekade setelah suaminya tiada.
“Simbok tabah dan tidak bisa memaksa kehendak bapak untuk turun gunung. Simbok sadar karena bapak memiliki peran penting sebagai juru kunci Merapi yang bisa berkomunikasi spiritual,” tulis peneliti mengikuti ucapan Asih.
Meninggalnya sang suami memang mengguncang jiwa Ponirah.
Akan tetapi, dia masih merasa terenyuh ketika pelayat terus hadir menyempatkan untuk mendoakan Mbah Maridjan menuju tempat keabadian.
“Aku trenyuh banget, sik melu layat okeh banget koyo ngene. Aku matur nuwun karo wong kabeh, isih podo ngajeni Mbah Kakung tekan saiki. Tak tangisi koyo ngopo yo wi ra bakal bali meneh. Ming iso ngeculke Simbah ben lurus lampahe ning kono,” catat peneliti.
Artinya, Ponirah merasa terharu dengan pelayat yang banyak.
Ia mengucapkan terimakasih kepada mereka semua yang masih menghormati Mbah Maridjan hingga akhir hayatnya.
Ponirah enggan menangisi kepergian sang suami lantaran tahu dia tidak akan kembali.
Dia hanya bisa melepaskannya agar langkah Mbah Maridjan bisa lurus di alam keabadian.
Merapi yang Selalu Menghidupi

Mengutip artikel Kompas.com pada 24 Februari 2012 berjudul Merapi yang Selalu Menghidupi, kisah kematian Mbah Maridjan justru menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk datang.
Persis di depan bekas rumah juru kunci itu, warung makan dan kios cendera mata yang menjual kaus, mug, dan pernak-pernik diserbu pelancong.
Kebanyakan cendera mata itu menggunakan Mbah Maridjan dan Merapi sebagai ikon.
Ponirah dan Asih mengelola warung itu.
”Barang ini titipan banyak orang. Ada yang buatan warga Kinahrejo, ada pula yang titipan pedagang dari luar. Wisata di Kinahrejo selalu ramai, apalagi hari Minggu,” kata Ponirah tersenyum.
Sebelum letusan Merapi pada 2006, Kinahrejo adalah dusun kecil di kaki Merapi yang hanya dikenali komunitas pendaki gunung.
”Dulu yang datang ke Kinahrejo, ya, orang yang mau mendaki Gunung Merapi,” ujar Ponirah.
”Mereka biasanya mampir di rumah Mbah, mengisi buku tamu, jumlah pendaki, berikut rencana pendakian mereka,” tambahnya.
Pascaletusan Merapi 2010, Kinahrejo dan delapan dusun lain di Desa Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo, luluh lantak.
Ribuan rumah hancur, tanaman di kaki selatan Merapi lenyap tertimbun material letusan Merapi.
Di balik kehancuran itu ada berkah. Sejak pemerintah menurunkan status bahaya Merapi yang diikuti pembukaan kawasan itu untuk publik, ribuan orang berbondong-bondong datang.
Mereka penasaran melihat dari dekat jejak letusan gunung.
”Orang ingin tahu seperti apa rumah Mbah Maridjan dan bagaimana kondisi dusun kami,” kata Asih.
”Daripada nasib kami menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan. Itulah ide awal Lava Tour Merapi,” tukasnya.
Itulah sepenggal kisah cinta Mbah Ponirah dan Mbah Maridjan. Kini, keduanya telah bertemu di alam abadi, menyambut lagi cinta mereka yang sejati.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.