PPP Umumkan Ganjar Capres

Menebak Cawapres Ganjar Pranowo, Pakar Konstitusi: Partai Koalisi Jangan Berpikir Elektabilitas Saja

Gugun El Guyanie mengatakan siapapun cawapresnya, partai koalisi jangan hanya berpikir soal elektabilitas dan amunisi antara capres dan cawapres saja.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
Gugun El Guyanie, Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) resmi mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) yang berkontestasi di pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Kini, publik mulai menebak-nebak siapa pendamping Ganjar Pranowo nanti.

Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka), Gugun El Guyanie, S.H., L.LM mengatakan, siapapun cawapresnya, secara ideal, partai koalisi jangan hanya berpikir soal elektabilitas dan amunisi antara capres dan cawapres saja.

Mereka juga harus berhitung apakah capres dan cawapresnya bisa bertahan lima tahun, tidak terbelah.

“Kalau yang ideal, presiden terpilih dahulu, baru menunjuk wakil presiden, bukan dipasangkan di awal dalam pemilihan,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Rabu (26/4/2024)

Ia menilai, konstitusi Indonesia sebenarnya agak aneh.

Jabatan wakil presiden secara limitatif disebut hanya mendampingi, mewakili, menggantikan jika presiden berhalangan tetap.

“Itu artinya jabatan wakil presiden harusnya orang pilihan presiden, bukan pilihan partai koalisi, yang mungkin agak dipaksakan,” tuturnya.

Hal ini bisa terjadi karena norma di dalam konstitusi tegas bahwa capres dan cawapres dipilih secara berpasangan.

Makna berpasangan itu kemudian diartikan bahwa cawapres ditentukan oleh partai koalisi pengusungnya, tidak oleh presiden terpilih.

"Itulah mengapa saya menyebut ada ambivalensi jabatan wapres. Kalau disebut sebagai pendamping, pembantu presiden, mewakili presiden dalam hal berhalangan baik sementara atau berhalangan tetap, itu artinya dia harus figur yang dikehendaki satu visi oleh presiden,” terangnya.

Ia melanjutkan, pemilihan presiden sebelum reformasi, ketika masih diserahkan kepada lembaga tertinggi negara MPR, berbeda desainnya dengan pemilihan presiden secara langsung.

Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), muncul keretakan atau banyak diskresi dari wapres yang tidak mau hanya diposisikan ban serep.

Ini terjadi karena wapres bisa mencuri panggung untuk 5 tahun berikutnya membidik posisi capres.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved