Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sejarah Tugu Pal Putih Jadi Sumbu Filosofi Yogyakarta, Simbol Pengayoman Sultan Kepada Rakyatnya

Apa makna Tugu Golong Gilig ini? Bagaimana Sejarah Tugu Pal Putih? Tugu Golong Gilig dibangun sekitar tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamangku Buwono (HB)

|
kemenparekraf
Sejarah Tugu Pal Putih Jadi Sumbu Filosofi Yogyakarta, Simbol Pengayoman Sultan Kepada Rakyatnya 

Tugu Golong Gilig pada bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih.

Tugu ini memiliki bentuk silinder yang mengerucut ke atas dengan ketinggian mencapai 25 meter.

Makna Tugu Golong Gilig atau Tugu Jogja ini melambangkan keberadaan Sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya.

Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).

Itulah sebabnya Tugu Golong Gilig ini juga sebagai titik pandang utama (point of view) Sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara.

Hubungan filosofi antara Tugu Golong Gilig, Keraton dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”.

Tugu Golong Gilig  atau Tugu Pal Putih
Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih (kratonjogja.id)

Jika perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia.

Dari Tugu Golong Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan) yang disebut sebagai perjalanan manusia menuju Penciptanya.

Golong Gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatif).

Namun, khusus bagi Sultan, poros ini memiliki makna berbeda. Arahnya bukan dari tugu ke keraton, tetapi dari Keraton ke Tugu. Sebaliknya, dari Keraton menuju Panggung Krapyak.

Dilansir dari laman Kratonjogja.id, poros dari Keraton hingga Tugu Golong Gilig mencerminkan kewajiban Sultan untuk melindungi dan mengayomi rakyat.

Bisa disimpulkan, Sultan memiliki kewajiban memfasilitasi masyarakat agar dapat hidup lebih baik dengan menyediakan materi serta pengayoman spiritual.

Penyediaan materi disimbolkan dengan fasilitas ekonomi, yaitu Pasar Beringharjo dan fasilitas pemerintahan, berupa Gedung Kepatihan, sementara pengayoman spiritual dicerminkan oleh Masjid Gedhe.

Baca juga: Sejarah Upacara Adat Labuhan di Pantai Parangkusumo, Tradisi Keraton Yogyakarta Sejak Abad ke-17

Bahkan, saat Sultan duduk siniwaka di Bangsal Manguntur Tangkil yang berada di Siti Hinggil Lor, beliau akan bermeditasi dengan arah pandang ke Tugu Golong Gilig.

Oleh karena itu Tugu Golong Gilig juga berarti Manunggaling Kawula Gusti.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved