Kisah Inspiratif

Kisah Diaspora Indonesia Rasakan Ramadan di Negeri Orang, Buka Puasa Jam 8 Malam

Kebudayaan orang-orang Turkiye yang cukup berbeda dengan Indonesia, meski mayoritas penduduk beragama Islam.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
istimewa
Latifa Nurina, warga Indonesia yang menetap di Turkiye 

“Aku lagi masak nasi buat buka puasa. Pokoknya harus makan nasi. Biasalah, orang Indonesia,” kata dia ketika berbincang dengan Tribun Jogja.

Bukan tanpa alasan ia memasak nasi menjelang berbuka.

Sebab, penjual makanan di luar apartemen tidak selalu menjual nasi, mengingat makanan pokok orang Inggris bukanlah nasi.

“Makan di luar kadang-kadang aja. Kalau masak juga lebih ngirit. Ada magic com lengkap di sini. Aku sempat bawa bumbu-bumbuan dari Indonesia sebelum ke Belfast,” terangnya.

Di kota yang terkenal sebagai tempat pembuatan kapal Titanic itu, bulan Ramadan juga tidak berbeda jauh dengan hari-hari biasa.

Umat Muslim di Belfast minoritas. Artinya, hanya segelintir orang yang berpuasa di bulan Ramadan di kota itu.

Tidak heran, tiada orang yang menjajakan camilan pembuka puasa di jalan, tidak seperti di Turkiye yang menjual ramazan pize maupun güllaç.

“Kadang aku numpang berbuka di masjid juga. Di dekat kampus itu ada masjid, jenenen Nimfa, punya orang Malaysia. Nah, kalau salat kadang di situ. Dekat, bisa jalan kaki dari McClay Library tempatku biasa ngerjain tugas,” ujar Wiwit panjang.

Di masjid itu, ia diberi suguhan makanan khas Timur Tengah yang langsung menggoyangkan lidah.

Hanya di masjid itu juga, Wiwit bisa mendengarkan azan salat lima waktu.

“Gak seperti di Indonesia yang adzan bisa terdengar hingga ke rumah-rumah. Kalau di sini, mau dengar azan ya ke masjid itu. Kalau sahur dan berbuka, cek jam atau aplikasi aja, ada yang membagikan jadwalnya. Gak bisa kita dengar azan terus berbuka kayak di Indonesia,” terangnya.

Waktu berpuasa di Belfast pun lebih lama dari Indonesia. Wiwit pernah berpuasa selama 18 jam tahun 2022.

Tahun ini, puasanya hanya membutuhkan waktu 16 jam, dua jam lebih cepat daripada tahun sebelumnya.

“Jadi, magrib sama isya itu sudah malam. Kalau tarawih pun ya baru selesai jam 22.00. Beda sama Indonesia yang jam 20.00 sudah selesai. Di sini gak gitu sih,” tutur dia.

Kadang, ada rasa sepi melanda hati Wiwit. Perbedaan budaya Ramadan di Yogyakarta dan Belfast begitu terlihat.

“Ya kangen sih kadang sama bazaar ramadan di jalanan di Yogya itu kan banyak penjual makanan yang segar dan enak gitu. Kalau di sini gak ada. Apalagi bangunin sahur, gak ada itu,” tukasnya sambil tertawa. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved