Kisah Inspiratif
Kisah Diaspora Indonesia Rasakan Ramadan di Negeri Orang, Buka Puasa Jam 8 Malam
Kebudayaan orang-orang Turkiye yang cukup berbeda dengan Indonesia, meski mayoritas penduduk beragama Islam.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM - Adzan magrib mungkin menjadi satu di antara waktu yang ditunggu-tunggu umat Muslim di Indonesia saat bulan Ramadan.
Saat bedug tiba sekitar 17.40 WIB, ada perasaan lega bahwa amalan puasa sudah dijalankan satu hari penuh tanpa halangan suatu apapun.
Namun, berbeda dengan diaspora Indonesia yang ada di Turkiye , Latifa Nurina.
Dia harus berbuka puasa jam 20.00 waktu setempat dan ini merupakan Ramadan pertama di negeri tersebut.
“Buka puasa jam 20.00, nanti kalau salat isya jam 21.00-an, baru mulai tarawih, selesai jam 22.00. Puasanya ya sekitar 15 jam, 2-3 jam lebih lama dari Indonesia,” kata Tifa ketika mengobrol dengan Tribun Jogja, Sabtu (8/4/2023).
Waktu puasa yang cukup lama itu juga diakibatkan oleh perubahan musim di Turkiye.
Sebagai negara empat musim, salat isya di Turkiye bisa dilakukan pada pukul 19.00 seperti di Indonesia.
Itu terjadi pada musim dingin.
Meski waktu berbuka puasa di Turkiye lebih lama daripada Indonesia, tapi itu tidak mempengaruhi puasa Tifa yang sudah tinggal beberapa bulan di Kota Inegol, Provinsi Bursa, Turkiye, mengikuti suaminya yang merupakan Warga Negara Turkiye.
Satu hal yang membuatnya merasakan gegar budaya justru bukan di waktu berpuasa melainkan kebudayaan orang-orang Turkiye yang cukup berbeda dengan Indonesia, meski mayoritas penduduk beragama Islam.
“Bedanya ya, meski mayoritas di sini Muslim kayak di Indonesia, tapi semarak Ramadannya gak semeriah di Indonesia. Suasana di luar ya hampir sama seperti hari-hari biasa. Kalau Ramadan, lebih ke ibadahnya, banyakin ngaji, sedekah,” jelas dia.
Biasanya, warga Turkiye hanya membersihkan rumah menjelang Ramadan .
Masjid-masjid besar akan dipasangi lampu di atas kubah bertuliskan ‘Hoşgeldin Ramazan’ yang berarti ‘Selamat Datang Ramadan’.
Tak ada bazaar Ramadan , penjual es pelepas dahaga, apalagi kaki lima penjaja telur gulung.
“Gak ada yang jualan takoyaki di sini,” tambahnya dengan tertawa.
Makanan di Turkiye mengikuti musim. Begitu juga saat memasuki bulan Ramadan, bisa saja makanan yang disantap tahun ini berbeda dengan tahun kemarin.
“Sekarang kan musim semi. Jadi, hidangan Ramadan lebih ke sayur-sayu yang musim semi. Kalau pas musim dingin, ya hidangannya gak ada es krim,” terang dia.
Ada pencuci mulut yang spesial hanya di bulan Ramadan, bernama güllaç.
Güllaç adalah hidangan penutup yang manis dengan kue tepung jagung di dalamnya yang disiram dengan susu, diberi air mawar, serta ditaburi biji delima dan pistachio.
Camilan manis itu tak bisa ditemukan di luar bulan suci lantaran güllaç pastry, atau lembaran tipis berbentuk bundar besar terbuat dari tepung maizena dan terigu, hampir tidak ada yang produksi.
Tak hanya güllaç, ada juga ramazan pide yang disebut sebagai pizzanya orang Turkiye.
Jika pizza biasanya diisi dengan daging, ramazan pide ini hanya diberi topping olesan telur dan wijen hitam, kemudian dimakan pakai mentega dan hidangan lain.
“Kadang di pinggir jalan ya ada yang jual dessert gitu, tapi itu-itu aja, kayak yang dijual di toko bakery. Menurutku, gak sevariatif di Indonesia, balik lagi, gak ono sing dodol takoyaki (tidak ada yang jual takoyaki),” ucapnya menggunakan bahasa Jawa.
Kebiasaan keluarga Turkiye saat berbuka puasa, mereka akan mengutamakan makan besar daripada menyantap camilan terlebih dahulu.
Baru kemudian setelah salat magrib, para Muslim baru meminum teh dan memakan dessert.
“Pas Idulfitri gitu anak-anak gak minta THR sih, tapi permen-permenan gitu dan hadiah kecil. Selebihnya, kumpul keluarga saja,” tukas dia.
Kisah Tifa tidak jauh berbeda dengan Wiwit Ananda. Wiwit, begitu sapaannya, kini sedang menempuh kuliah doktor di Queen’s University, Belfast, Inggris Raya.
Ia merupakan Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tahun ini adalah Ramadan kedua baginya.
“Aku lagi masak nasi buat buka puasa. Pokoknya harus makan nasi. Biasalah, orang Indonesia,” kata dia ketika berbincang dengan Tribun Jogja.
Bukan tanpa alasan ia memasak nasi menjelang berbuka.
Sebab, penjual makanan di luar apartemen tidak selalu menjual nasi, mengingat makanan pokok orang Inggris bukanlah nasi.
“Makan di luar kadang-kadang aja. Kalau masak juga lebih ngirit. Ada magic com lengkap di sini. Aku sempat bawa bumbu-bumbuan dari Indonesia sebelum ke Belfast,” terangnya.
Di kota yang terkenal sebagai tempat pembuatan kapal Titanic itu, bulan Ramadan juga tidak berbeda jauh dengan hari-hari biasa.
Umat Muslim di Belfast minoritas. Artinya, hanya segelintir orang yang berpuasa di bulan Ramadan di kota itu.
Tidak heran, tiada orang yang menjajakan camilan pembuka puasa di jalan, tidak seperti di Turkiye yang menjual ramazan pize maupun güllaç.
“Kadang aku numpang berbuka di masjid juga. Di dekat kampus itu ada masjid, jenenen Nimfa, punya orang Malaysia. Nah, kalau salat kadang di situ. Dekat, bisa jalan kaki dari McClay Library tempatku biasa ngerjain tugas,” ujar Wiwit panjang.
Di masjid itu, ia diberi suguhan makanan khas Timur Tengah yang langsung menggoyangkan lidah.
Hanya di masjid itu juga, Wiwit bisa mendengarkan azan salat lima waktu.
“Gak seperti di Indonesia yang adzan bisa terdengar hingga ke rumah-rumah. Kalau di sini, mau dengar azan ya ke masjid itu. Kalau sahur dan berbuka, cek jam atau aplikasi aja, ada yang membagikan jadwalnya. Gak bisa kita dengar azan terus berbuka kayak di Indonesia,” terangnya.
Waktu berpuasa di Belfast pun lebih lama dari Indonesia. Wiwit pernah berpuasa selama 18 jam tahun 2022.
Tahun ini, puasanya hanya membutuhkan waktu 16 jam, dua jam lebih cepat daripada tahun sebelumnya.
“Jadi, magrib sama isya itu sudah malam. Kalau tarawih pun ya baru selesai jam 22.00. Beda sama Indonesia yang jam 20.00 sudah selesai. Di sini gak gitu sih,” tutur dia.
Kadang, ada rasa sepi melanda hati Wiwit. Perbedaan budaya Ramadan di Yogyakarta dan Belfast begitu terlihat.
“Ya kangen sih kadang sama bazaar ramadan di jalanan di Yogya itu kan banyak penjual makanan yang segar dan enak gitu. Kalau di sini gak ada. Apalagi bangunin sahur, gak ada itu,” tukasnya sambil tertawa. ( Tribunjogja.com )
Baca Buku Bonus Sayur, Cara Karang Taruna Margoyoso Magelang Kerek Minat Baca |
![]() |
---|
Cerita Anak Bintara Brimob Polda DIY Raih Adhi Makayasa AAU 2025 |
![]() |
---|
Cerita Juara 1 Lomba Kepala Sekolah Berprestasi Jenjang SMP 2025, Kampanye Soal Ini |
![]() |
---|
Dari Enceng Gondok Jadi Peluang Kerja: Cerita Aiptu Sukirja Rintis Usaha Kerajinan |
![]() |
---|
Kisah Percetakan di Kulon Progo Cetak hingga 10 Juta Amplop Saat Lebaran |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.