Hasil Penelitian Ungkap Pengemudi Ojek Online Ingin Tinggalkan Pekerjaanya
survei kepada 1.000 orang kurir dan pengemudi ojol Jabodetabek sepanjang tahun 2021-2022.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Pertama, penghasilan para driver sudah merosot, bahkan sebelum pandemi COVID-19. Skema bonus harian yang ditawarkan aplikasi tidak lagi seatraktif di awal kehadirannya.
Demi mencapai pertumbuhan secepat mungkin, di fase awal perusahaan platform membakar uang untuk merekrut pengemudi.
“Namun, saat aplikasi sudah tumbuh semakin besar, skema bonus perlahan dikurangi dan dipersulit. Sehingga hanya sedikit pekerja yang bisa mendapatkannya,” ungkap Yorga yang juga dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung tersebut.
Kedua, semakin banyaknya pengemudi yang bergabung ke dalam aplikasi. Sehingga pengemudi merasa bersaing satu sama lain.
Banyak pengemudi yang bekerja tanpa kenal waktu agar mendapatkan penghasilan yang besar.
“Mereka rata-rata bekerja 54 jam sepekan Sebagai perbandingan, di Inggris hanya 8persen pekerja berbasis aplikasi yang bekerja lebih dari 35 jam per pekan,” katanya.
Banyaknya pengemudi ini juga membuat daya tawar mereka rendah.
“Bagaimana mau protes secara kolektif jika sesama pengemudi merasa bersaing karena rekrutmen terus menerus dilakukan,” tambah Yorga.
Faktor ketiga adalah munculnya pandemi. Sektor transportasi adalah salah satu sektor yang paling terdampak akibat pembatasan sosial.
Meski mereka cukup tertolong dengan meningkatnya pesanan makanan antar dan pengantaran barang, namun tetap saja penghasilan menurun.
“Sebanyak 90 % pengemudi online mengalami penurunan penghasilan yang cukup signifikan selama pandemi. Mereka mengatakan dalam satu hari hanya mendapatkan 1
Penelitian ini juga mengukur tingkat kebahagiaan dan tingkat kecemasan mereka dari skala 0 sampai 10. Diperoleh nilai rata-rata kebahagiaan pengemudi ojol adalah 6 dan rata-rata kecemasan mereka 6,4.
“Saya bandingkan dengan studi dari Universitas Oxford dan Uber kepada 1.000 orang pengemudi Uber di London dengan cara pengukuran yang sama. Rata-rata tingkat kebahagiaan mereka 7,5 dan kecemasan mereka 4. Artinya di masa pandemi ini, pengemudi ojol di Jakarta lebih banyak cemas-nya daripada bahagianya.” tambah Yorga.
Meski lebih memilih untuk berhenti mengemudi,mereka mengaku sulit keluar. Sebab, terbatasnya pilihan pekerjaan. Sementara mayoritas pengemudi tidak memiliki sumber pendapatan lain.
Oleh sebab itu, Yorga mendesak pemerintah menyusun regulasi formal hubungan kerja antara perusahaan platform dan para pengemudi ojek online.
“Tanpa adanya payung hukum yang jelas, perusahaan bisa seenaknya memperlakukan pengemudi dan bersembunyi di balik ilusi ‘kemitraan” ujar Yorga. (Kontan)
Artikel ini sudah tayang di Kontan
| Rekomendasi Laptop Budget Pelajar: Aspire Lite AL14-71M |
|
|---|
| Seorang Mahasiswa di Jogja jadi Korban Penganiayaan, Polisi Lakukan Penyelidikan |
|
|---|
| Alasan Hakim Ringankan Vonis Christiano Tarigan dalam Kecelakaan Maut Mahasiswa UGM |
|
|---|
| Adian Napitupulu Wacanakan Skema Berlangganan di Tengah Evaluasi Regulasi Ojol |
|
|---|
| Duka UIN Walisongo: Wisata Tubing Berakhir Tragis di Sungai Genting |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/tarif-ojek-online-terbaru-per-kilometer-yogyakarta-masuk-zona-i.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.