Siswa SMP Meninggal
Kasus Pembunuhan Siswa di Magelang, Pakar UGM: Tingkat Kecerdasan Emosional Pelaku Rendah
Pakar Sosiologi Kriminal Universitas Gadjah Mada, Soeprapto sudah menduga bahwa pelaku juga berusia hampir seumuran dengan korban.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pembunuhan pelajar SMP di Grabag, Kabupaten Magelang menjadi salah satu ciri bahwa pelaku memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Seperti diberitakan sebelumnya, Polres Magelang telah menetapkan IA (15) sebagai tersangka pembunuhan WSH (13).
IA adalah teman sekelas korban. Ia mencuri HP WSH sekaligus membunuhnya.
WSH sempat dinyatakan hilang 1 hari sebelum jasadnya ditemukan di Dusun Kopen, Desa Baleagung, Grabag pada Kamis 4 Agustus 2022.
Baca juga: INFO Prakiraan Cuaca BMKG DI Yogyakarta Hari Ini Selasa 9 Agustus 2022
Menanggapi hal tersebut, Pakar Sosiologi Kriminal Universitas Gadjah Mada, Soeprapto sudah menduga bahwa pelaku juga berusia hampir seumuran dengan korban.
“Pada usia itu, segala rasa memang sudah ada, misalnya senang, sedih, suka, benci, kesal, dan lain-lain, tapi tingkat kecerdasan emosional setiap anak itu beda-beda,” ungkapnya kepada Tribun Jogja, Selasa (9/8/2022).
Ia menjelaskan, kecerdasan emosional atau EQ pelaku belum tentu sudah sampai pada level 2, yaitu mampu mengendalikan diri.
“Apalagi sudah level 3, mampu memahami orang lain. Belum sampai pelaku di situ,” jelasnya.
Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan untuk memahami, mengendalikan, dan mengevaluasi emosi.
Sehingga, pada saat konflik dengan teman terjadi, pelaku tidak mampu mengendalikan diri.
Terjadilah aksi menghilangkan nyawa temannya hanya karena si pelaku tidak bisa mengendalikan emosi di dalam diri.
“Sekarang itu, banyak tayangan kekerasan yang dapat diakses segala usia. Apalagi dengan akses internet yang tidak terbatas,” terangnya.
Baca juga: Pengakuan Terbaru Bharada E: Tidak Adanya Tembak-menembak di Kasus Brigadir J
Dengan begitu, kata dia, ada sistem informasi yang lebih transparan. Mau tidak mau, anak jadi lebih sering terpapar tayangan kekerasan yang tidak sesuai umur.
“Transparansi seperti ini membuat satu sisi filter tayangan yang diakses anak jadi melemah. Orang tua banyak yang mengabaikan fungsi sosialisasi dan proteksi pada anak,” tegasnya.
Sehingga, dijelaskannya, banyak anak yang tidak tahu tindakan baik dan benar.
“Anak jadi tidak tahu mana yang baik, perlu dilakukan dan mana yang tidak baik dan harus ditinggalkan,” tandasnya. (Ard)