Bentrokan di Babarsari, Sosiolog UGM: Multi Culture Society Cukup Kuat, Tapi Ekonomi Tak Inklusif
Sosiolog Ekonomi Perkotaan UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, S.Sos., M.Si., menilai bentrokan terakhir di Yogyakarta tersebut sebenarnya bukan persoal
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Bentrokan di kawasan Babarsari, Caturtunggal, Depok, Sleman mengundang keprihatinan. Apalagi, mengingat DI Yogyakarta terkenal sebagai tempat di mana mahasiswa belajar.
Sosiolog Ekonomi Perkotaan UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, S.Sos., M.Si., menilai bentrokan terakhir di Yogyakarta tersebut sebenarnya bukan persoalan keamanan tetapi kesannya menjadi persoalan keamanan karena rentetan peristiwa pada akhirnya memunculkan perusakan.
Baginya, Yogyakarta sesungguhnya kota yang sudah cukup kuat sebagai melting pot atau sebagai multiculture society.
Baca juga: Kurang dari 24 Jam, Tersangka Dugaan Kasus Pencurian Pakan Ayam di Kulon Progo Dibekuk Polisi
“Artinya sebagai multi culture society sudah cukup kuat, cuma problemnya di ekonominya tidak inklusif," ujarnya, Selasa (5/7/2022).
Dia menjelaskan, kehidupan ekonomi yang bukan inklusif tetapi eksklusif menjadikan pekerjaan rumah bagi banyak pihak untuk mengubah ekonomi eksklusif Yogyakarta menjadi lebih inklusif.
Idealnya, ekonomi seharusnya mengikuti budaya karena budaya Yogyakarta sudah menerima perbedaan suku dan dat.
Derajad mengungkap dengan ekonomi Yogyakarta yang belum inklusif menjadikan pertumbuhan kota sedikit bermasalah. Pertumbuhan kota, dalam pandangannya, tidak berpijak pada budaya yang ada di masyarakat.
“Justru yang kita lihat ekonomi di Yogyakarta kan sepertinya merespons perkembangan kota besar. Padahal kalau kota-kota besar kan kehidupan ekonominya cenderung eksklusif," ungkapnya.
Untuk itu, menurut Derajad, pengelolaan ekonomi di Yogya sudah seharusnya inklusif.
Artinya pengelolaannya harus disepakati secara bersama.
Adanya tempat-tempat hiburan, karaoke mestinya harus diikuti adanya ketentuan yang ditaati atau dijunjung tinggi sehingga jika kemudian terjadi konflik ada yang menjadi penengah.
“Perbedaan dengan Bali misalnya. Di Bali memiliki pecalang atau polisi adat. Meski tidak perlu seperti itu, tetapi setidaknya aparat pemerintah daerah mestinya cara berpikirnya sudah inklusi. Ini yang jadi masalah di Yogya, masyarakatnya sudah multiculture, inklusif tetapi bisnisnya belum inklusif. Bisnisnya masih as usual, ini yang harus diubah," terangnya.
Derajad menjelaskan Yogyakarta sebenarnya butuh ketenangan dan lebih banyak fasilitas mahasiswa, bukan fasilitas yang mengundang konflik. Regulasinya, kata dia, tidak harus seperti kota-kota besar lainnya.
“Wilayah Yogyakarta itu istimewa tetapi regulasinya tidak istimewa, regulasinya seperti perkembangan kota Jakarta, Surabaya dan lain-lain. Jadi kita ini tidak tumbuh istimewa seperti masyarakatnya, seperti kratonnya, jadi kita ini tumbuh seperti kota metropolis," ucapnya.
Ia menambahkan regulasi yang ada di Yogyakarta mestinya harus terefleksi atau tercermin dari kondisi masyarakat.