Berita Bantul Hari Ini

Kisah Masjid Pathok Negara Ad-Darojat Bantul, Ini Andil Besar Sri Sultan HB IX Setelah Jepang Pergi

Di pemukiman yang padat penduduk, tepatnya di Babadan, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, berdiri masjid bersejarah Masjid Pathok Negara

Penulis: Santo Ari | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/ Santo Ari
Di pemukiman yang padat penduduk, tepatnya di Babadan, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, berdiri masjid bersejarah Masjid Pathok Negara 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Di pemukiman yang padat penduduk, tepatnya di Babadan, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, berdiri masjid bersejarah Masjid Pathok Negara Ad-Darojat.

Dibangun pada tahun 1774, masjid ini pernah hilang lantaran wilayah tersebut dijadikan gudang mesiu saat penjajahan Jepang.

Ketua Takmir Masjid Pathok Negara Babadan Harsoyo menjelaskan bahwa Keraton Ngayogyakarta memiliki empat masjid pathok negara, dan salah satunya berada di Babadan.

Fungsinya masjid ini sama dengan 3 masjid Pathok Negara lain, yakni untuk melengkapi pemerintah keraton.

Baca juga: Rudal Nuklir Hipersonik Korea Utara Dipamerkan, Diklaim Mampu Hantam Wilayah AS Kurang dari 35 Menit

Masjid tersebut dahulu berfungsi sebagai tempat pengadilan surambi atau tempat untuk mengurus masalah yang berhubungan dengan hukum agama.

"Di sini dulu ada pengadilan surambi. Dulu belum ada KUA belum ada kantor Kemenag, jadi kalau ada permasalahan ya masjid ini fungsinya seperti pengadilan agama," ungkapnya, Selasa (26/4/2022). 

Sama seperti fungsi KUA, Masjid Pathok Negara pun digunakan untuk menikahkan pasangan. Karena itu, setiap Masjid Pathok Negara memiliki penghulu.

Namun, seiring datangnya penjajah di Indonesia, Masjid Pathok Negara semakin tertekan hingga puncaknya pada masa penjajahan Jepang, Masjid Pathok Negara Babadan pun hilang.

"Saat itu Jepang mengusir warga di sekitar Masjid dan menjadikan wilayah tersebut menjadi gudang mesiu," ceritanya.

Namun masyarakat sekitar pun tidak tinggal diam, dan memindahkan bangunan masjid ke wilayah Kentungan, Kabupaten Sleman. Seluruh konstruksi kayu dipindah ke tempat baru dan yang tersisa di Babadan hanyalah pondasinya saja. Wilayah tersebut pun menjadi kampung mati saat itu.

"Jadi di sini, yang asli tinggal pondasi dan mustaka Masjid dari tanah liat, kalau mustaka Masjidnya masih disimpan sampai sekarang, tapi tidak dipasang karena memang sudah tua," terangnya.

Baru setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke-2, tentara Jepang pun meninggalkan kampung tersebut dan tahun 1950-an wilayah tersebut kembali didatangi warga untuk bermukim di sana.

Kendati sudah banyak warga yang berdatangan, Masjid Pathok Negara Babadan belum kembali berfungsi layaknya masjid karena belum dibangun seutuhnya. Oleh warga, pondasi masjid digunakan untuk menjemur padi dan sempat digunakan untuk panggung ketoprak.

Hingga kemudian pembangunan baru dimulai saat Sri Sultan HB IX bertahta. Raja yang sangat dicintai rakyatnya ini mempunyai andil besar dalam pembangunan kembali Masjid Pathok Negara Babadan.  

"Pada tahun 1969 ada Kiai Muthohar dari Yogyakarta datang dan meminta harus didirikan lagi Masjidnya. Karena keterbatasan dana, Kiai Muthohar sowan (menghadap) Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk meminta bantuan seadanya, karena yang tersisa hanya pondasi saja," katanya.

Baca juga: Dinkes Sleman Waspadai Lonjakan Kasus Covid-19 Setelah Lebaran 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved