Headline
Pencairan JHT di Usia 56 Tahun Dinilai Sebagai Kebijakan Terburu-buru
Saya kira, kebijakannya mungkin tepat, tapi waktunya yang tak tepat. Pemerintah terlalu buru-buru membuat kebijakan JHT hanya boleh diambil di usia 56
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Mona Kriesdinar
Sebagaimana diketahui, JKP adalah program kelima dari BPJS Ketenagakerjaan, setelah JHT, Jaminan Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Pensiun. Adapun pembedanya, JKP ditujukan untuk peserta yang kehilangan pekerjaan maupun yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perihal PKWT
JKP memberikan manfaat berupa uang tunai, akses ke informasi kerja, bimbingan dan konseling karier, serta pelatihan kerja. “Ada hal lain yang perlu dicermati, yakni orang yang kontrak PKWT-nya selesai, enggak dapat JKP,” tambah Nabiyla.
PKWT yang dimaksud adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Fakta di lapangan, kata Nabiyla, pascaUndang-Undang Cipta Kerja (UUCK) disahkan, semakin banyak buruh yang dimanfaatkan dengan PKWT lantaran durasi singkat dan bisa terus diperpanjang sampai 5 tahun. “PKWT yang tiba-tiba enggak diperpanjang, tidak bisa dapat JKP, dong,” katanya.
Pada PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP, di Pasal 20 ayat 2, tertulis manfaat JKP bagi peserta dengan hubungan kerja berdasarkan PKWT diberikan apabila PHK oleh pengusaha dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT selesai.
“Menurut saya, aturan soal pesangon itu hanya bagus di atas kerja saja. Nyatanya, masih banyak kok perusahaan yang enggak bayar pesangon sesuai ketentuan. Akhirnya, pekerja yang di-PHK, apalagi yang diminta mengundurkan diri, enggak bisa dapat apa-apa,” tuturnya.
Nabiyla tidak menampik, secara teori, JHT memang ideal untuk dijadikan pelampung masyarakat di hari tua. Namun, dia juga tidak heran mengapa banyak warga yang marah apabila JHT hanya bisa dicairkan saat usia 56 tahun. Sebab, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal.
“Faktor lain, adanya ketidakpercayaan masyarakat soal pengelolaan uang lembaga asuransi pelat merah yang berantakan gara-gara korupsi di Jiwasraya dan lain-lain kemarin,” ungkapnya.
Dia menyimpulkan, baiknya pemerintah menunda implementasi Permenaker No 2 Tahun 2022 dan menunggu program JKP untuk berjalan selama beberapa tahun dulu. “Jika jalannya baik, implementasinya baik, baru bisa nih taruh JHT kembali menjadi jaminan di masa tua,” terangnya
Nabiyla paham, banyak orang yang kontra dengan kebijakan Kemenaker karena dikeluarkan dalam waktu yang tidak tepat.
“Bukan berarti terus BPJS Naker ini lebih baik tidak diwajibkan. Ini proteksi sosial yang idealnya, ya, memang wajib ada untuk seluruh negara. Tidak semua orang juga mampu bikin tabungan pensiun sendiri kan,” tandasnya.
Komunikasi
Di sisi lain, Kepala Bidang Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian, Koperasi, UKM, Tenaga Kerja (Disperinkop) Gunungkidul, Asih Wulandari menyampaikan, ada rencana bertemu dengan serikat pekerja untuk membahas polemik ini.
Pertemuan dilakukan dalam rangka sosialisasi berkaitan dengan aturan baru tersebut. Sekaligus menerima masukan dari serikat pekerja di Bumi Handayani. Meski demikian, belum diketahui pasti kapan pertemuan dengan serikat pekerja akan dilakukan. Saat ini pihaknya pun masih mempelajari aturan itu.
Tribun Jogja pun telah mencoba meminta tanggapan dari Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Gunungkidul, Budiyana. Hingga kini belum ada pernyataan yang diberikan terkait aturan baru Kemnaker. (ard/alx)
Baca Tribun Jogja edisi Selasa 15 Februari 2022 halaman 01