Cerita Haru Transpuan di Yogyakarta Selama Pandemi Covid-19, Bertahan Hidup dari Uluran Dermawan

Cerita Haru Transpuan di Yogyakarta Selama Pandemi Covid-19, Bertahan Hidup dari Uluran Dermawan

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
Tribunjogja/Istimewa
Aksi Endang, transpuan yang mengamen di pertigaan Jalan Ring Road Utara 

Sesekali, ia beranjak memberi makan ayam dan kucing yang ada dengan lauk yang tersedia.

Sejak tahun 1985-an, Ningsih sudah berada di Yogyakarta untuk mengadu nasib. Mungkin saja, kota budaya ini mau menerima identitas dirinya sebagai seorang transpuan.

Namun, tiga dekade lebih berselang, hidup Ningsih seperti berjalan di tempat.

Setiap hari, ia masih harus mengamen di pertigaan Jalan Laksda Adisucipto dan Jalan Ring Road Utara.

Itupun harus bersaing dengan pengais rezeki di lampu merah lainnya, seperti badut, manusia silver dan anak jalanan.

“Masa ini memang parah sih. Aku pernah ngalami waktu krisis moneter 1998-an kayaknya gak separah ini ya kolapsnya,” jelasnya.

Padahal, cita-cita Ningsih sederhana. Ningsih ingin bekerja di lesehan pecel lele yang menjamur di Yogyakarta.

Tidak ada alasan khusus mengapa ia ingin menjadi penjaja lesehan pecel lele.

Mungkin saja, dalam pikirannya, pendapatan penjual pecel lele cukup stabil daripada mengamen yang tak tentu ujungnya.

Ia hanya begitu berharap bisa hidup tanpa mengamen lagi di pertigaan ataupun toko-toko di Kota Yogyakarta.

“Noko (sebutan mereka untuk aktivitas mengamen di toko) itu susah. Banyak saingannya. Jadi suka gak dapat,” ungkap transpuan asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu lirih.

Prinsip mereka sebagai transpuan lanjut usia (lansia) adalah, lelah mengamen, pulang. Lebih baik beristirahat di kamar kos daripada memaksakan diri untuk terus mencari uang.

“Aku sih pengennya buka usaha kuliner ya. Kecil-kecilan aja,” timpal Endang sumringah memikirkan usahanya.

Angan hanya tinggal angan. Endang paham, selama ini, untuk hidup saja sulit apalagi memiliki modal membangun usaha.

“Susah, kendalanya modal memang. Ada pendampingan seperti menjahit ini itu, tapi uangnya habis untuk beli bahan, belum yang lain,” tukasnya.

Entah sampai kapan, Endang dan Ningsih bisa menggantungkan harapan sebagai pengamen lampu merah.

Meski sudah berusia separuh abad, mereka hanya bisa melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk memenuhi hidup. (Tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved