Cerita Haru Transpuan di Yogyakarta Selama Pandemi Covid-19, Bertahan Hidup dari Uluran Dermawan
Cerita Haru Transpuan di Yogyakarta Selama Pandemi Covid-19, Bertahan Hidup dari Uluran Dermawan
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Pandemi Covid-19 berdampak terhadap sektor perekonomian.
Tak hanya kalangan atas, namun dampak Covid-19 juga dirasakan oleh kelompok marginal.
Seperti yang dialami oleh dua orang transpuan di wilayah Sleman, Yogyakarta ini.
Di tengah hiruk pikuk kendaraan di Jalan Laksda Adisucipto, sebuah gang menuju lahan kosong yang cukup luas, tepat di samping salah satu hotel berbintang empat terlihat lengang.
Di lahan kosong tersebut, ada empat bangunan, berukuran kurang lebih 3x3 meter, yang masing-masing ditempati satu orang.
Dua di antara penghuni itu adalah transpuan bernama Endang (55) dan Ningsih (54).
Jangan dibayangkan bangunan itu memiliki dinding kokoh kedap suara. Empat orang di bangunan itu harus mau hidup seadanya.
Kamar mereka berdempetan, hampir tidak ada privasi. Mereka bisa dengan mudah memanggil satu sama lain dari dalam ruang.
Kamar mandi pun hanya ada satu untuk empat penghuni, terletak di luar dan sebagian tidak tertutupi atap.
Pencahayaan di setiap kamar temaram. Meski matahari meninggi, tidak semua ruang bisa ditembus oleh sang surya lantaran minimnya jendela.
“Maaf ya, tadi kami bangun kesiangan, jadi riasan seadanya,” buka Endang kepada tim Tribun Jogja, Tirto.id dan Lensa44.com beberapa waktu lalu.
Liputan ini adalah hasil kolaborasi beberapa jurnalis di Yogyakarta, sengaja dilakukan untuk memperlihatkan bahwa pandemi Covid-19 memiliki dampak buruk, khususnya bagi mereka yang disebut kaum marginal.
Riasan Endang memang seadanya. Dia tidak menutupi wajahnya dengan foundation ataupun bedak.
Hanya terlihat alis yang cukup tebal, lengkap dengan celak samar-samar dia aplikasikan di bawah mata.
Bibirnya diberi lipstik warna merah dan rambutnya yang panjang sebahu dia kuncir begitu saja.
Sementara Ningsih, juga memiliki tubuh tinggi dan berdandan hampir sama dengan Endang, membubuhkan alis dan sedikit perona mata.
Ia menggerai rambut panjangnya begitu saja, menutupi bagian belakang jaket kulit berlengan 3/4 yang dia kenakan.
Keduanya santai berbincang-bincang di depan kamar mereka yang ada satu meja dan kursi panjang.
“Sulit juga ya masa pandemi ini. Banyakan lesehan gak buka. Kami gak bisa pastikan mau mengamen pagi atau malam,” tambah Endang yang merupakan warga Purworejo itu.
Semenjak ada pembatasan kegiatan, banyak tempat makan mengalihfungsikan penjualannya dengan daring.
Sebagian ada yang memilih tutup daripada modal habis hanya untuk biaya operasional.
Bagi orang lain, itu kesempatan yang mujur, tapi tidak dengan Endang dan Ningsih. Mereka ajur.
Keduanya tidak bisa mengamen karena lesehan tutup atau tidak ada pembeli. Semua mendekam di rumah takut tertular virus corona.
Otomatis, pendapatan pun tiada.
Bahkan, Endang dan Ningsih harus sabar tidak melakukan aktivitas mengamen selama 2,5 bulan sejak pembatasan kegiatan pertama kali dilakukan.
Padahal, mengamen sudah menjadi pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan mengamen bisa digunakan untuk membeli kebutuhan, khususnya makan dan membayar kamar kos yang mereka tempati sekarang.
“Biasanya, kami ngamen itu cuma dua jam. Dari jam 06.00 WIB sampai jam 08.00 WIB lah. Pokoknya, kalau si silver masuk ke lampu merah, kami pergi aja,” tambah Endang sembari tertawa.
Selain rumah makan dan lesehan di pinggir jalan, lampu merah juga menjadi kantor mereka.
Setiap 1 menit sekali, di satu sisi lampu apill Jalan Laksda Adisucipto dan Jalan Ring Road Utara, Endang dan Ningsih memutar, meminta uang dari kendaraan satu ke kendaraan lain yang sedang berhenti.
Kadangkala, mereka mendapatkan uang Rp 80.000-Rp 100.000 dalam dua jam bekerja.
Itu pun kalau sedang ramai. Kalau tidak, mereka bisa pulang dengan tangan hampa.
Endang dan Ningsih sering pergi mengamen bersama Erni, seorang teman transpuan yang juga tinggal di indekos tersebut.
“Kalau silver itu masuk, ya silahkan, kami tu gak mau ramai aja. Jadi ya bagi-bagi rezeki juga,” jelas Endang lagi.
Baca juga: Belasan Kambing Warga di Gunungkidul Kembali Ditemukan Mati Misterius, Terluka di Leher dan Paha
Tunggu Bantuan
Hidup keduanya yang sejak awal tidak menentu semakin buyar tatkala pandemi tiba.
Ningsih maupun Endang bertahan hidup dengan bantuan-bantuan yang datang dari para dermawan.
Apalagi, usia mereka yang tidak lagi muda membuatnya mudah lelah untuk berjalan kesana kemari.
Mereka tidak bisa berlama-lama mengamen di tengah teriknya matahari.
“Kadang, ada teman-teman yang membagikan beras kepada kami. Ini bisa dimasak. Kalau ada teman waria yang lain, kami bagikan juga. Kami tunggu bantuan saja,” papar Endang yang disetujui Ningsih.
Hidup mereka kemudian hanya tergantung dari manusia yang hobi mengulurkan tangan. Setiap bantuan berbentuk apapun akan mereka terima demi keberlanjutan hidup.
Ada perut yang harus diberi makan dan ada indekost yang harus mereka bayar setiap bulan.
Jika keduanya tidak terpenuhi, opsinya juga hanya dua, mati karena virus corona atau mati kelaparan karena tak punya rupiah.
Beruntung, Waria Crisis Center, yang didirikan oleh Rully Malay (61) dan anggota lain juga sigap untuk membuat simpul jaring keamanan. Dengan dapur umum, setidaknya perut yang keroncongan bisa terisi.
“Selama pandemi ini, kalau ngamen, suka gak dapat juga. Lebih baik kita ke dapur umum. Bantu masak-masak, nanti biar anak-anak yang makan di sini,” tambah Endang lagi.
Ningsih duduk di depan kamar. Dia tidak berbicara banyak dan hanya menyaksikan percakapan.
Sesekali, ia beranjak memberi makan ayam dan kucing yang ada dengan lauk yang tersedia.
Sejak tahun 1985-an, Ningsih sudah berada di Yogyakarta untuk mengadu nasib. Mungkin saja, kota budaya ini mau menerima identitas dirinya sebagai seorang transpuan.
Namun, tiga dekade lebih berselang, hidup Ningsih seperti berjalan di tempat.
Setiap hari, ia masih harus mengamen di pertigaan Jalan Laksda Adisucipto dan Jalan Ring Road Utara.
Itupun harus bersaing dengan pengais rezeki di lampu merah lainnya, seperti badut, manusia silver dan anak jalanan.
“Masa ini memang parah sih. Aku pernah ngalami waktu krisis moneter 1998-an kayaknya gak separah ini ya kolapsnya,” jelasnya.
Padahal, cita-cita Ningsih sederhana. Ningsih ingin bekerja di lesehan pecel lele yang menjamur di Yogyakarta.
Tidak ada alasan khusus mengapa ia ingin menjadi penjaja lesehan pecel lele.
Mungkin saja, dalam pikirannya, pendapatan penjual pecel lele cukup stabil daripada mengamen yang tak tentu ujungnya.
Ia hanya begitu berharap bisa hidup tanpa mengamen lagi di pertigaan ataupun toko-toko di Kota Yogyakarta.
“Noko (sebutan mereka untuk aktivitas mengamen di toko) itu susah. Banyak saingannya. Jadi suka gak dapat,” ungkap transpuan asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu lirih.
Prinsip mereka sebagai transpuan lanjut usia (lansia) adalah, lelah mengamen, pulang. Lebih baik beristirahat di kamar kos daripada memaksakan diri untuk terus mencari uang.
“Aku sih pengennya buka usaha kuliner ya. Kecil-kecilan aja,” timpal Endang sumringah memikirkan usahanya.
Angan hanya tinggal angan. Endang paham, selama ini, untuk hidup saja sulit apalagi memiliki modal membangun usaha.
“Susah, kendalanya modal memang. Ada pendampingan seperti menjahit ini itu, tapi uangnya habis untuk beli bahan, belum yang lain,” tukasnya.
Entah sampai kapan, Endang dan Ningsih bisa menggantungkan harapan sebagai pengamen lampu merah.
Meski sudah berusia separuh abad, mereka hanya bisa melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk memenuhi hidup. (Tribunjogja.com)