Yogyakarta
Wawancara Eksklusif MAPPI DIY : Urgensi Standar Penilaian Bangunan Cagar Budaya
MAPPI DI Yogyakarta membuka wacana untuk mempelajari standar penilaian bangunan cagar budaya.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Kantor-kantor di sekitar Candi Prambanan dan fasilitas lain juga masuk ke laporan keuangan.
Nanti, nilai itu juga bisa masuk ke Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Masing-masing bisa menulis, tergantung bangunan itu milik siapa. Apakah pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota?
Di DI Yogyakarta, ada juga bangunan heritage yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta.
Apa keuntungan mengetahui nilai bangunan cagar budaya?
Mungkin, akan ada rasa untuk tidak menyia-nyiakan cagar budaya tersebut. Kalau tidak tahu nilainya, takutnya kan tidak dirawat. Apabila tahu, ya pasti ada keinginan untuk merawat.
Bisa juga optimalisasi biaya perawatan. Selama ini, biaya perawatan kan disubsidi oleh negara lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/D).
Kalau dia bisa menghasilkan sendiri, kenapa enggak? Maka setelah kita tahu itu potensial, ya dioptimalisasi saja. Lokasi heritage seperti itu kan biasanya bagus.
Kalau lokasi bagus, bisa dioptimalisasi tanpa harus meninggalkan kebudayaannya. Di Melbourne, saya pernah melihat, ada bangunan komersial di atas bangunan heritage, di sini tidak berani seperti itu.
Semakin pemerintah punya cagar budaya banyak, artinya dia butuh pemeliharaan banyak. Kalau beberapa aset bisa menghasilkan sesuatu jadi mengurangi biaya perawatan.
Mengapa belum pernah ada penilaian bangunan cagar budaya?
Kami masih mencari satu format yang pas, faktor apa saja yang kita lakukan untuk menilai bangunan cagar budaya?
Ini baru pertama kali diskusi penilaian bangunan cagar budaya diselenggarakan, masih belum masuk ranah best practice dan masih wacana.
Semoga di tahun-tahun depan sudah ada format yang pas untuk menilai bangunan cagar budaya tersebut. ( Tribunjogja.com )