Yogyakarta
Wawancara Eksklusif MAPPI DIY : Urgensi Standar Penilaian Bangunan Cagar Budaya
MAPPI DI Yogyakarta membuka wacana untuk mempelajari standar penilaian bangunan cagar budaya.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dewan Pengurus Daerah (DPD) Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) DI Yogyakarta membuka wacana untuk mempelajari standar penilaian bangunan cagar budaya.
Sebab, hingga saat ini, masih belum ada cara untuk menilai bangunan bersejarah.
Padahal, DIY sendiri memiliki bangunan warisan nenek moyang yang masuk sebagai kekayaan budaya.
Tribunjogja.com mewawancarai Ketua Pengda MAPPI DIY 2017-2021, Dra Uswatun Khasanah MSi MAPPI (Cert) untuk mengetahui lebih lanjut tentang standar penilaian bangunan cagar budaya.
Wawancara dilakukan di sela-sela musyawarah daerah (Musda) DPD MAPPI DIY di JW Marriott Hotel, Jumat (24/9/2021).
Baca juga: Pengajuan Sumbu Filosofis Terkendala Bangunan Cagar Budaya Eks Hotel Tugu
Bagaimana sebenarnya standar penilaian bangunan cagar budaya?
Belum ada. Standar penilaian bangunan cagar budaya itu belum ada. Selama ini, kami hanya menghitung luas tanahnya saja.
Nah, di Musda DPD MAPPI DIY yang ketiga ini, kami juga membuka wacana untuk mempelajari tentang penilaian bangunan cagar budaya dengan menghadirkan ahli sesuai bidangnya.
Satu di antaranya ada Dr Junainah Mohamad dari Kelantan University Malaysia. Beliau itu sering menjadi tim penilai atau appraisal di Malaysia. Kami ingin belajar dari beliau, bagaimana cara menilai bangunan cagar budaya.
Ada juga Dr Amiluhur Soeroso MM MSc CHE dari Magister Administrasi Publik UGM yang berbicara tentang pentingnya bagunan cagar budaya bagi kehidupan
Peserta yang ikut ada sekitar 380 orang dari seluruh Indonesia. Ini menjadi bagian dari Program Profesi Lanjut (PPL).
Dalam profesi kami, setiap penilai wajib ikut semacam workshop seperti ini. Jika tidak ikut, akan kena sanksi.
Ini baru wacana, belum ada praktiknya. Harapannya ya tentu di tahun-tahun berikutnya akan ada praktik-praktik penilaian bangunan cagar budaya dari tim appraisal, khususnya di DIY.
Apa pentingnya menilai bangunan cagar budaya?
Menteri Keuangan (Menkeu) RI, bu Sri Mulyani sudah meminta tim penilai seperti kami ini untuk menghitung manajemen aset negara. Menurutnya, ada banyak aset yang belum tercatat dari cagar budaya.
Di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, bangunan cagar budaya belum pernah sama sekali dinilai karena memang belum ada standarnya.
Kekayaan yang dimiliki Indonesia ini bukan kekayaan sebenarnya karena masih ada aset yang memang belum ada standarisasi penilaiannya.
Padahal, setiap hal itu ada standar penilaiannya. Misal, untuk agunan bank, ada standarnya. Tanah untuk kepentingan umum atau infrastruktur seperti itu ada standarnya, lelang pun ada standarnya
Semua yang sudah ada standarnya, berarti tim penilai tinggal mengikuti jalurnya itu. Namun, bangunan cagar budaya ini belum ada cara menilainya.
Apabila ada cagar budaya, yang dihitung ya tanahnya saja. Seperti Candi Prambanan, Ratu Boko dan Borobudur yang dikelola PT Taman Wisata Candi (TWC) itu, kami hitungnya ya baru tanah dan bangunan-bangunan baru.
Candinya sendiri sih belum dinilai.
Setelah dinilai, apa langkah selanjutnya berkaitan dengan cagar budaya itu?
Penilaian ini bukan untuk menjual cagar budaya ya. Seperti yang saya katakan tadi, ini bisa jadi aset negara atau daerah.
Bisa jadi milik pemerintah untuk masuk ke laporan keuangan. Laporan keuangan kita yang dinamakan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) itu nilainya mencakup sumber daya alam, cagar budaya.
Katakanlah, kekayaan negara sekian ribu triliun, apa benar segitu? Karena ada banyak bangunan heritage belum dinilai.
Bisa jadi, kekayaan negara atau daerah itu lebih tinggi daripada itu.
Hanya saja, kita kan belum tahu cara penilaian yang pas.
Berarti, kalau masuk ke laporan keuangan, apakah akan dimasukkan ke aktiva tetap?
Betul. Di laporan keuangan itu kan ada aktiva dan pasiva. Aktiva itu masih dibagi dua, aktiva tetap dan aktiva lancar. Bangunan heritage itu masuk ke aktiva tetap.
Kantor-kantor di sekitar Candi Prambanan dan fasilitas lain juga masuk ke laporan keuangan.
Nanti, nilai itu juga bisa masuk ke Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Masing-masing bisa menulis, tergantung bangunan itu milik siapa. Apakah pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota?
Di DI Yogyakarta, ada juga bangunan heritage yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta.
Apa keuntungan mengetahui nilai bangunan cagar budaya?
Mungkin, akan ada rasa untuk tidak menyia-nyiakan cagar budaya tersebut. Kalau tidak tahu nilainya, takutnya kan tidak dirawat. Apabila tahu, ya pasti ada keinginan untuk merawat.
Bisa juga optimalisasi biaya perawatan. Selama ini, biaya perawatan kan disubsidi oleh negara lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/D).
Kalau dia bisa menghasilkan sendiri, kenapa enggak? Maka setelah kita tahu itu potensial, ya dioptimalisasi saja. Lokasi heritage seperti itu kan biasanya bagus.
Kalau lokasi bagus, bisa dioptimalisasi tanpa harus meninggalkan kebudayaannya. Di Melbourne, saya pernah melihat, ada bangunan komersial di atas bangunan heritage, di sini tidak berani seperti itu.
Semakin pemerintah punya cagar budaya banyak, artinya dia butuh pemeliharaan banyak. Kalau beberapa aset bisa menghasilkan sesuatu jadi mengurangi biaya perawatan.
Mengapa belum pernah ada penilaian bangunan cagar budaya?
Kami masih mencari satu format yang pas, faktor apa saja yang kita lakukan untuk menilai bangunan cagar budaya?
Ini baru pertama kali diskusi penilaian bangunan cagar budaya diselenggarakan, masih belum masuk ranah best practice dan masih wacana.
Semoga di tahun-tahun depan sudah ada format yang pas untuk menilai bangunan cagar budaya tersebut. ( Tribunjogja.com )